Rabu 23 Oct 2019 09:11 WIB

Assad Berjanji Lawan Serangan Turki

Rusia menegaskan kehadiran Turki di Suriah harus seizin Pemerintahan Suriah.

Tentara oposisi Suriah yang didukung Turki mengendarai kendaraan bersenjata di Akcakale, Sanliurfa, tenggara Turki, Jumat (18/10).
Foto: AP Photo/Mehmet Guzel
Tentara oposisi Suriah yang didukung Turki mengendarai kendaraan bersenjata di Akcakale, Sanliurfa, tenggara Turki, Jumat (18/10).

REPUBLIKA.CO.ID, SOCHI -- Presiden Rusia Vladimir Putin menyambut kedatangan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Sochi, Rusia, Selasa (22/10), untuk membahas Suriah. Sementara itu, Presiden Suriah Bashar Assad menyatakan siap mendukung perlawanan rakyat dalam melawan serangan Turki yang dilakukan sejak 9 Oktober lalu.

Saat menerima kedatangan Erdogan, Putin mengatakan, kerja sama tingkat tinggi antara Rusia dan Turki akan dapat membantu merumuskan penyelesaian untuk masalah yang rumit terkait Suriah. Sedangkan, Erdogan mengatakan, pertemuannya dengan Putin akan "menciptakan peluang untuk membahas perdamaian dengan sungguh-sungguh."

Baca Juga

Sebelumnya, atas mediasi Rusia antara Pemerintah Suriah dan milisi Kurdi yang memimpin Syrian Democratic Forces (SDF), militer Suriah akhirnya bergerak ke lokasi yang diduduki SDF di Suriah timur laut. Sebelumnya, Pemerintah Suriah menilai SDF sebagai gerakan separatis yang menjadi musuh negara.

Pada Selasa, Assad menjanjikan dukungan untuk melawan Turki. Ia juga berjanji akan memberi pengampunan bagi mereka yang bergabung dengan SDF.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan, menarik pasukannya dari wilayah Kurdi di Suriah timur laut pada 8 Oktober. Keesokan harinya, Turki menggelar operasi bernama sandi Operation Peace Spring di wilayah tersebut.

Turki mengklaim, operasi itu memburu milisi Kurdi yang terkait gerakan terorisme di Turki. Operasi itu juga diklaim untuk menciptakan zona aman di sepanjang perbatasan Suriah dan Turki agar pengungsi Suriah dapat kembali pulang ke Suriah. Penarikan pasukan AS itu juga membuka jalan bagi Rusia untuk memperluas perannya di Suriah.

Rusia, sebagai sekutu Assad, menegaskan sikapnya bahwa kehadiran Turki di Suriah harus seizin Pemerintahan Suriah. Hal ini diungkap juru bicara Istana Kepresidenan Kremlin Dmitry Peskov, Selasa, sebelum pertemuan Putin dan Erdogan. Pernyataan ini mengindikasi, Rusia menginginkan Turki berbicara langsung dengan Suriah.

Dalam kesempatan berbeda, Erdogan juga menolak seruan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk memperpanjang gencatan senjata di Suriah. Hal ini mengacu pada gencatan senjata selesai tenggatnya pada Selasa pukul 22.00 waktu setempat.

“Tidak ada proposal seperti itu (gencatan senjata) yang disampaikan kepada saya dari Macron. Sebenarnya Macron berbicara tentang hal-hal seperti itu, sebagian besar dengan teroris,” kata Erdogan pada Selasa (22/10), dikutip laman //Times of Israel//. Pernyataan Erdogan merujuk pada pertemuan antara Macron dan juru bicara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Jihane Ahned.

photo
Pasukan Turki menembakkan roket ke arah Ras al-Ayn, Suriah, Selasa, (15/10)

Ditolak Irak

Sementara itu, Irak menolak pemindahan pasukan AS dari Suriah yang dialihkan ke Irak. Kantor berita Reuters melaporkan pada Senin ada sekitar 100 kendaraan militer AS yang menyeberang ke Irak.

Pada Selasa, militer Irak menyatakan, pasukan AS tersebut tidak diizinkan untuk menetap di Irak. Pernyataan ini bertolak belakang dengan pernyataan Menteri Pertahanan AS Mark Esper yang menyatakan pasukan AS bergerak dari Suriah ke Irak barat untuk melanjutkan operasi mereka melawan milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Esper mengakui baru akan membahas hal ini dengan menteri pertahanan Irak pada Rabu (23/10). Pasukan AS yang semula di Suriah, katanya, tidak berencana untuk menetap di Irak.

Namun, Esper juga mengatakan, negaranya sedang mempertimbangkan untuk mempertahankan sejumlah pasukan mereka di Suriah. Kehadiran pasukan AS dimaksudkan untuk mencegah agar wilayah itu tidak direbut ISIS.

"Saat ini pasukan kami ada di beberapa kota di dekat lokasi itu, tujuannya untuk menghalangi akses, terutama pendapat ISIS atau kelompok lainnya yang ingin mendapatkan pendapatan untuk aktivitas merusak mereka," kata Esper, seperti dilansir dari Aljazirah, Selasa. n kamran dikarma/lintar satria/reuters/ap ed: yeyen

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement