REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Politik LIPI Firman Noor mengatakan, tidak bisa mengharapkan adanya kekuatan di parlemen sebagai penyeimbang pemerintahan. Sebab, karakter partai politik di parlemen yang terlibat di kabinet cenderung afirmatif terhadap pemerintah.
"(Hanya) menjadi guardian. Hanya dua partai yang memiliki karakter menolak atau kritis ketika punya posisi di kabinet, yaitu PAN dan PKS. PAN di era Jokowi jilid pertama, PKS di era SBY, tetapi sekarang dua kekuatan ini di parlemen sudah sangat lemah," ujar Firman usai diskusi Salemba Policy Center di gedung Rektorat Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta Pusat, Rabu (23/10).
Ia mengatakan harapan mengenai kemungkinan suara kritis yang muncul dari internal partai politik koalisi pemerintah memang masih ada. Namun, menurut dia, kekritisan ini akan dapat berujung pada stagnancy karena saling mengunci di dalamnya. "Kemudian terjadi kartel karena saling mendukung," kata dia.
Ia mengatakan kekuatan parlemen menjadi penyeimbang (check and balances) juga akan sangat lemah jika hanya mengandalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyatakan dengan tegas akan menjadi oposisi. Ia mengatakan PKS juga sepertinya menyadari posisinya dalam menjadi kekuatan penyeimbang akan tidak mudah.
"Saya kira statement dari pimpinan PKS kan bilang kami akan jadi oposisi yang nothing to lose, sudah jelas sendirian mau apa lagi sudah teriak aja gitu kan, apakah itu kemudian ditampung dalam parlemen secara keseluruhan ini kan persoalan lain yang jelas suara terlalu minim untuk bisa menang di parlemen," jelas Firman.
Dia mengatakan harapan penyeimbang sekarang ini hanya melalui gerakan sosial (civil society) atau gerakan masyarakat. Gerakan-gerakan ini seperti gerakan mahasiswa, pers, dan sebagainya.