REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Prof Din Syamsuddin menyampaikan bahwa sebagian umat Islam merasa terkena tuduhan radikalisme dan intoleransi. Tuduhan tersebut terasa menyakitkan bagi umat Islam, padahal kalau umat Islam tidak toleransi tentu tidak akan ada stabilitas dan kerukunan di Indonesia.
Din menegaskan bahwa umat Islam adalah kelompok yang paling toleransi. Sebagai buktinya kesultanan-kesultanan yang jumlahnya sekitar 70-an ikhlas bergabung untuk mendukung dan berintegrasi dengan negara baru bernama Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Itu adalah sikap toleransi yang sangat besar.
"Tidak mungkin ada tingkat kerukunan nasional seperti ini kalau umat Islam yang jumlahnya banyak tidak toleran," kata Din kepada Republika usai Rapat Pleno Wantim MUI ke-44 di Gedung MUI Pusat, Rabu (23/10).
Ia juga mengingatkan, fungsi Kementerian Agama (Kemenag) untuk membangun moralitas bangsa dan mengembangkan keberagamaan ke arah yang positif serta konstruktif bagi bangsa. Kemenag berfungsi untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan serta kualitas keagamaan.
Kemenag jangan belok menjadi anti radikalisme, bila Kemenag mendapatkan tugas menjadi anti radikalisme maka seolah-olah umat beragama yang radikal. Din mengingatkan, boleh saja anti radikalisme tapi jangan hanya anti radikalisme keagamaan. Tapi tidak mempedulikan radikalisme ekonomi dan radikalisme politik.
"Tapi kenapa tidak mempersoalkan radikalisme ekonomi, yang melakukan kekerasan pemodal, yang menimbulkan kesenjangan, itu namanya radikalisme ekonomi, kenapa tidak mempedulikan radikalisme politik, yang kemudian merasa menang merasa berkuasa seolah-oleh bisa berbuat apa saja dalam bentuk otoritarianisme," ujarnya.
Din menegaskan, kelompok dan paham yang anti Pancasila harus ditolak tapi tidak hanya paham yang bersifat keagamaan. Sebab banyak juga kelompok yang ingin mengembangkan paham-paham lain yang anti Pancasila.
Ia mengingatkan bahwa paham kapitalisme dan liberalisme itu anti Pancasila. Bahkan sistem politik di Indonesia bertentangan dengan sila keempat Pancasila. Kemudian sistem ekonomi di Indonesia bertentangan dengan sila kelima Pancasila.
"Tapi kenapa itu tidak dituduh musuh nyata Pancasila, apalagi ada separatisme," ujarnya.