REPUBLIKA.CO.ID, Bagi Islam, tujuan seseorang menuntut ilmu tidak lain daripada mewujudkan figur yang sempurna (insan kamil). Kesempurnaan itu pun tidak menjadi tujuan di dalam dirinya an sich, melainkan alat untuk menunaikan kewajiban eksistensial manusia, yakni khalifah Allah di muka bumi.
Menurut Syed Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam dan Filsafat Sains, Kezaliman dalam bentuk apa pun akan merusak harmoni yang Allah telah ciptakan di alam semesta dan diri manusia sendiri.
Karena itu, manusia yang berilmu dituntun untuk memanfaatkan ilmunya demi maslahat bagi semesta, bukan mengeksploitasi alam demi tujuan yang zalim. Syed Naquib melanjutkan, sesungguhnya bagi Islam, ilmu itu termasuk iman. Di antara tujuan ilmu adalah mengasuh dan memupuk kebaikan dengan tujuan menjaga keadilan.
Sains yang mengalami Islamisasi mengakui segala ilmu berasal dari Allah. Ilmu-ilmu itu kemudian ditafsirkan oleh diri manusia dengan instrumen jasmani dan rohaninya. Dengan demikian, ilmu dapat didefinisikan sebagai sampainya diri manusia kepada makna. Apa-apa yang teramati berada dalam alam tabi’i yang meliputi langit dan bumi.
Namun, menurut Syed Naquib, alam tabi’i tersusun dari bentuk-bentuk simbol (ayat) yang merujuk pada kekuasaan dan eksistensi Allah. Dengan demikian, alam tabi’i adalah bentuk lain daripada wahyu ilahi atau analog dengan Alquran itu sendiri sebagai Kalamullah.
Di sinilah letak perbedaan lainnya filsafat sains Barat dan Islam. Sains Barat meneliti sebuah objek sebagai objek itu sendiri. Padahal, objek itu sebagaimana bagian dari alam tabi’i yakni simbol (ayat) yang menandakan adanya Allah SWT. Segala objek, baik yang empiris maupun rasional, pada hakikatnya koheren dengan sistem Qurani.