REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Dr Marianus Kleden mengatakan penerapan demokrasi di Indonesia bisa menjadi hambar jika tanpa ada suara kritis dari pihak oposisi. Pernyataannya terkait masuknya Gerindra ke kabinet Presiden Joko Widodo.
"Demokrasi kita bisa menjadi hambar dalam lima tahun ke depan jika tak ada suara kritis dari kaum oposisi seperti yang dimainkan Gerindra selama ini. Tapi Gerindra akhirnya masuk dalam kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin," katanya, Rabu (23/10).
Partai Gerindra mendapat jatah dua kursi menteri dalam Kabinet Indonesia Maju. Yakni Menteri Pertahanan dipercayakan Jokowi kepada Prabowo Subianto. Serta Menteri Kelautan dan Perikanan dipercayakan kepada Edhy Prabowo.
Marianus menjelaskan, dalam pidato usai pelantikan, Jokowi mengemukakan lima poin pembangunan yang akan dikerjakan. Di antaranya sumber daya manusia, infrastuktur, deregulasi, birokrasi, dan transformasi ekonomi.
Namun, lanjut Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unwira Kupang itu, tidak ada satu poin pun di mana Jokowi berbicara soal korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia. "Di sini sebenarnya butuh suara-suara kritis dari kelompok oposan untuk terus menyuarakannya dan juga persoalan lainnya, tetapi akan sulit kalau semua bergabung dalam pemerintahan," katanya.
Menurutnya, dengan masuknya kelompok oposan dalam pemerintahan maka sulit memahami aspirasi rakyat secara otentik. Apakah mereka setuju atau tidak terhadap sebuah kebijakan.
Partai oposisi, lanjutnya, sebenarnya sangat dibutuhkan dalam sistem demokrasi. Karena bisa membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasinya ketika tidak sejalan dengan pemerintah.
"Tapi kalau oposisi ditarik dan ketika rakyat bersuara berbeda dengan pemerintah maka tidak ada pihak yang mengakomodasinya," kata Marianus Kleden.