REPUBLIKA.CO.ID, LA PAZ -- Presiden Bolivia Evo Morales berusaha meminta dukungan militer pada Rabu (23/10). Upaya tersebut ketika dia menghadapi tuduhan kecurangan suara yang diklaim oposisi sehingga membuat demonstrasi keras.
Permintaan Morales ini agar militer bersatu dalam menghadapi kelompok yang diduga menggerakkan kebencian. "Angkatan Bersenjata mempersatukan semua orang Bolivia. Angkatan Bersenjata memiliki kewajiban menjamin wilayah nasional," kata Morales di sebuah acara militer di wilayah Cochabamba.
Morales pun menyatakan rasa prihatin atas demonstrasi besar yang terjadi beberapa hari. Kondisi ini memicu gelombang kebencian masyarakat terhadap pemerintah saat ini.
"Ada kelompok yang tampaknya mendiskriminasi keluarga paling rendah hati di wilayah nasional kita," kata Morales, memuji militer karena mempertahankan kesadaran sosial.
Demonstrasi besar terjadi karena penghentian secara tiba-tiba atas proses penghitungan suara pemilihan presiden pada Ahad. Penghentian itu terjadi ketika Morales tampaknya harus menuju pemilihan putaran kedua dengan lawan Carlos Mesa.
Ketika penghitungan cepat dilanjutkan pada esok harinya, Morales telah mengumpulkan cukup banyak suara untuk menang di putaran pertama secara langsung. Suara pemilih yang sudah masuk lebih dari 80 persen dengan Morales mendapatkan 44 persen surat suara dan Mesa 40 persen.
Pengamat Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) menyatakan keanahan atas kondisi tersebut. Menteri Luar Negeri Bolivia Diego Pary membantah melakukan pelanggaran dan mengundang OAS mengaudit seluruh proses pemungutan suara resmi.
Pemenang pemilihan presiden Bolivia membutuhkan lebih dari 50 persen suara atau 40 persen yang ditambah 10 poin tambahan untuk menghindari putaran kedua yang akan berlangsung pada 15 Desember. "Apa pun hasilnya, kita sebagai pemerintah akan menerimanya. Transparansi itu penting," kata Pary.