Kamis 24 Oct 2019 07:00 WIB

Pendudukan Palestina oleh Israel Terpanjang di Dunia Modern

Komunitas internasional masih enggan mengambil tindakan tegas terhadap Israel.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Warga melintasi bangunan yang hancur akibat serangan Israel ke Kota Gaza.
Foto: AP/Hatem Moussa
Warga melintasi bangunan yang hancur akibat serangan Israel ke Kota Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pendudukan Israel terhadap Palestina merupakan pendudukan terpanjang di dunia modern. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab segera mengakhiri hal tersebut.

Hal itu disampaikan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia (HAM) di wilayah Palestina Micharl Lynk saat menguraikan laporannya di Majelis Umum PBB, Rabu (23/10). "Israel telah menduduki Palestina selama 52 tahun, pendudukan berperang terpanjang di dunia modern," ucapnya, dilaporkan laman UN News.

Baca Juga

Menurutnya, komunitas internasional masih enggan mengambil tindakan tegas atas pendudukan yang dilakukan Israel terhadap Palestina. "Komunitas internasional telah menerbitkan resolusi dan deklarasi tak terhitung jumlahnya yang mengkritik pendudukan Israel yang tak pernah berakhir. Waktu telah lama berlalu untuk mencocokkan kritik ini dengan konsekuensi efektif," ujar Lynk.

Terkait hal tersebut, dia merekomendasikan masyarakat internasional menyusun daftar tindakan pencegahan yang efektif serta sesuai dan proporisonal dengan keadaan itu. Jika Israel tetap tak bereaksi, mereka harus meningkatkan dan menerapkan jangkauan penanggulangan yang ditargetkan hingga Tel Aviv mematuhinya.

"Warga Palestina, bersama orang Israel yang memiliki hati nurani, telah berulang kali meminta komunitas internasional bertindak tegas dalam mendukung hukum internasional guna memaksa Israel mengakhiri pendudukan dan memungkinkan rakyat Palestina menentukan nasib sendiri. Kita tak dapat mengabaikan seruan mereka," kata Lynk.

Pada kesempatan itu, dia turut menyuarakan kekhawatirannya tentang aneksasi sebagian atau seluruh wilayah Tepi Barat oleh Pemerintah Israel. Lynk mengatakan tingkat kekerasan yang dilakukan para pemukim Israel di sana telah meningkat.

"Insiden kekerasan pemukim tercatat di sejumlah kota di Tepi Barat, termasuk di Hebron, Nablus, dan Ramallah," ucapnya.

Tak hanya pemukim, pasukan keamanan Israel juga mengintensifkan penggerebekan terhadap warga Palestina di Tepi Barat. Mereka menangkap dan melakukan penahanan secara sewenang-wenang.

Di Yerusalem Timur, Israel terus menggusur dan menghancurkan rumah atau bangunan milik warga Palestina. Lynk mencatat, sejak akhir April, Israel telah merobohkan lebih dari 100 bangunan warga Palestina di Yerusalem Timur.

Tujuan dari penggusuran dan pembongkaran itu tak lain untuk mengubah komponen dan keseimbangan demografis Yerusalem. Israel ingin mengikis keberadaan warga Palestina dan memperkuat mayoritas Yahudi di Yerusalem Timur.

Lynk turut memaparkan situasi di Jalur Gaza. Dia mengungkapkan blokade yang dilakukan Israel terhadap Gaza selama 12 tahun telah membatasi warga Palestina di sana dalam mengakses layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. "Blokade Gaza adalah pengingkaran terhadap HAM dan dianggap sebagai hukuman kolektif," ujarnya.

Dia pun menyinggung tentang aksi "Great March of Return" yang dilakukan warga Palestina di Gaza sejak Maret 2018. Aksi itu menelan 207 korban jiwa dan lebih dari 33 ribu korban luka. Meskipun jumlah korban sangat besar, Israel belum memperlihatkan tanda-tanda akan menyelidiki tindakan brutal yang dilakukan pasukan keamanannya terhadap warga Gaza.

Padahal komunitas internasional dan organisasi masyarakat sipil telah mendesak Israel melakukan hal tersebut. "Pendudukan Israel adalah ilustrasi pahit dari absennya pertanggungjawaban internasional dalam menghadapi pelanggaran sistemik hak-hak warga Palestina di bawah HAM dan hukum kemanusiaan," kata Lynk.

Dalam aksi Great March of Return warga Palestina di Jalur Gaza melakukan demontrasi di dekat pagar perbatasan Israel. Mereka menuntut Israel mengembalikan tanah atau lahan yang didudukinya pascaperang 1967.

Warga Gaza pun menyuarakan kecaman kepada Amerika Serikat (AS) karena telah mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Mereka memprotes keras keputusan Washington memindahkan kedutaan besarnya untuk Israel ke Yerusalem.

Kendati dilakukan secara damai, pasukan kemananan Israel di perbatasan merespons aksi warga Gaza dengan represif dan brutal. Mereka menembaki para demonstran, termasuk petugas medis dengan peluru tajam.

Hal itu yang menyebabkan banyaknya korban jiwa dan luka. Namun, Israel berdalih tindakan itu dilakukan karena para demonstran mengancam keamanan dengan mendekat ke pagar perbatasan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement