REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Studi terbaru Doing Business 2020 dari Bank Dunia memperlihatkan, laju reformasi di kawasan Asia Timur dan Pasifik mengalami perlambatan secara keseluruhan. Jumlah reformasi di kawasan ini turun 10 selama periode 12 bulan terakhir sampai 1 Mei 2019. Reformasi juga dilaksanakan di kurang dari setengah negara (12 dari 25).
Meski demikian, lima ekonomi Asia Timur dan Pasifik merupakan 25 pemain global teratas dalam peringkat Ease of Doing Business (EoDB) yang dirilis pada Kamis (24/10). Kelimanya adalah Singapura (ke-2), Hong Kong SAR China (ke-3), Malaysia (ke-12), Taiwan, China (ke-15) dan Thailand (ke-21). China tercatat sebagai salah satu negara dalam 10 peringkat teratas selama dua tahun berturut-turut.
Manajer Senior Global Indicator Bank Dunia, Rita Ramalho, menuturkan, prestasi kawasan Asia Timur dan Pasifik tak terlepas dari dorongan reformasi yang terus berlanjut. "Perbaikan signifikan dilakukan beberapa negara, termasuk China," ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.
Kemajuan yang berkelanjutan tersebut dinilai Rita merupakan kunci utama untuk meningkatkan iklim bisnis domestik. Di sisi lain, dorongan reformasi memungkinkan perusahaan swasta berkembang di tiap negara.
Dengan delapan reformasi, China meningkatkan regulasi di sebagian besar indikator Doing Business. China juga menerapkan reformasi paling banyak dibandingkan negara lain di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Misal, Beijing menyederhanakan persyaratan untuk konstruksi beresiko rendah dan proses yang efisien guna mendapatkan koneksi air dan drainase. Pemerintahan setempat memotong perizinan sampai 44 hari.
Konstruksi di China juga sekarang lebih aman karena persyaratan kualifikasi yang lebih ketat untuk para profesional di bidang inspeksi teknis. Pihka berwenang turut membuat biaya listrik lebih transparan. Tidak kalah penting, otoritas membantu perusahaan kecil dan menengah mengakses pasar internasional dengan menerapkan deklarasi kargo di muka, meningkatkan infrastruktur pelabuhan dan mengoptimalkan administrasi bea cukai.
Sementara itu, Indonesia dan Myanmar yang berada di peringkat ke-73 dan 165 masing-masing melakukan lima reformasi. Sebagian besar reformasi terkait penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi.
Misalnya, Indonesia mengenalkan sistem pengarsipan dan pembayaran online untuk pajak besar dan sistem manajemen elektronik. Selain itu, pihak berwenang meningkatkan pemrosesan secara online dan mengurangi waktu transaksi perbatasan untuk mengekspor hingga tujuh jam.
Di sisi lain, Myanmar memperkuat kontrol kuaitas konstruksi, meningkatkna infrastruktur air dan sanitasi. Proses perizinan bangunan pun lebih efisien, membuat negara ini berada dalam peringkat ke-46 dalam indikator izin konstruksi.
Dengan tiga reformasi dalam setahun terakhir, Filipina (ke-95) melanjutkan momentum reformasi. Di antaranya, Filipina menghilangkan persyaratan modal minimum untuk perusahaan domestik dan merampingkan proses untuk mendapatkan sertifikat hunian.
Brunei Darussalam (ke-66), Republik Demokratik Rakyat Laos (ke-154), Papua Nugini (ke-120) dan Vietnam (ke-70) masing-masing melaksanakan dua reformasi. Brunei Darussalam mulai menerbitkan laporan yang mengukur kinerja Pengadilan Menengah Bandar Seri Begawan. Sementara, Laos mempermudah akses listrik dengan mengerahkan sistem terbaru.
Vietnam meningkatkan infrastruktur teknologi informasi yang digunakan oleh Departemen Perpajakan setempat, membuat proses pembayaran pajak lebih mudah bagi pengusaha.
Secara keseluruhan, negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik memfokuskan upaya reformasi pada perbaikan di bidang izin konstruksi. Perbaikan ini membuat mereka berkinerja baik dalam indikator akses listrik, mendapatkan kredit dan berurusan dengan izin konstruksi.