Kamis 24 Oct 2019 17:33 WIB

Serikat Petani Ingin Dilibatkan dalam Menentukan Kebijakan

Yang paling mengerti dan mengetahui solusi petanian di desa adalah petani

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Petani Indonesia.
Foto: Tahta/Republika
Petani Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serikat Petani Indonesia (SPI) mengharapkan pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih melibatkan petani dan organisasi masyarakat tani dalam setiap perumusan kebijakan sektor pangan. Petani juga berharap ke depan tak lagi menjadi sebagai objek, tapi subjek dari kebijakan pemerintah.

Ketua Umum SPI, Henry Saragih mengatakan, petani ingin tak lagi menjadi beban negara tapi sebagai kekuatan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Karenanya, setiap perencanaan pertanian, termasuk program reforma agraria tak boleh melupakan suara para petani.

Baca Juga

"Yang paling mengerti dan mengetahui solusi petani di perdesaan ya petani itu sendiri. SPI sebagai ormas tani siap bersama pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang mensejahterakan kaum petani," kata Henry dalam keterangannya diterima Republika.co.id, Kamis (24/10).

Ia menuturkan, peranan SPI dalam menginisiasi perumusan kebijakan sudah diakui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa.  Pengesahan Dekade Pertanian Keluarga oleh PBB pada tahun 2019-2028 juta menjadi bentuk pengakuan dunia internasional terhadap tantangan pertanian ke depan.

Terutama, dalam pemenuhan pangan masyarakat yang bertumpu pada keberadaan keluarga petani. Lebih jauh, petani secara tidak langsung berperan dalam pengentasan kelaparan di tingkat dunia.

“Hal ini diperkuat lagi dengan pengesahan Deklarasi Hak Asasi Petani dan Rakyat yang Bekerja di Perdesaan (UNDROP) sebagai instrumen Internasional yang mendukung kedaulatan pangan oleh PBB tahun lalu,” ujarnya.

Henry pun menyampaikan, Presiden Joko Widodo bersama kabinetnya akan langsung dihadapkan pada tantangan-tantangan dan permasalahan di tingkat global yang berdampak kepada Indonesia. Saat ini, kata dia, dunia tengah dibayang-bayangi oleh ancaman resesi ekonomi global dan krisis lingkungan hidup. Hal ini terlihat dalam masalah lapangan pekerjaan, kemiskinan dan kelaparan.

SPI mencatat, Organisasi Pangan PBB, FAO, dalam laporan berjudul The State of Food Security and Nutrition in the World tahun 2019 menyebutkan, angka kelaparan di tingkat global mencapai 822 juta jiwa. Dengan kata lain, 10 persen dari penduduk di dunia berada dalam kondisi kelaparan.

Keadaan tersebut menunjukkan bahwa belum ada kemajuan berarti terhadap upaya pengentasan kelaparan di tingkat global. Sejak pencanangan upaya pengentasan kelaparan pada tahun 1996, angka kelaparan dunia juga masih belum bergeser dari level 10 persen.

Permasalahan pangan di Indonesia cukup pelik. Mengingat pada tahun 2019, mengacu data Global Hunger Index (GHI), indeks kelaparan Indonesia masih berada pada skor 20,1. “Kendati angka ini menunjukkan perbaikan, namun masih menempatkan Indonesia pada posisi serius terhadap ancaman krisis pangan. Indonesia masih berada pada peringkat 70 dari 117 negara”, lanjutnya.

Henry mengatakan, pada periode pemerintahan yang kedua ini, tantangan-tantangan itu bisa dijawab dengan melanjutkan reforma agraria, kedaulatan pangan, dan penegakan hak asasi petani yang sudah dilaksanakan pada periode sebelumnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement