REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan penurunan suku bunga acuan 7 Days Reserve Repo Rate (7DRRR) Bank Indonesia belum juga tersalurkan atau tertransmisi pada suka bunga kredit di perbankan. Ekonom Centre of Reform on Economics (CORE), Piter Redjalam Abdullah menyampaikan ini merupakan kekakuan dan anomali dalam ekonomi.
"Permasalahan kita memang adanya anomali yaitu kekakuan suku bunga kredit," kata Piter kepada Republika, Kamis (24/10).
Ketika suku bunga acuan turun, suku bunga deposito biasanya cukup cepat mengikuti, tapi suku bunga kredit biasanya kaku dan lambat sekali untuk bergerak turun. Kondisi ini disebabkan oleh terlalu ketatnya likuiditas dan segmentasi perbankan.
BI telah mengeluarkan bauran kebijakan pelonggaran likuiditas melalui Giro Wajib Minimum (GWM) dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Piter menyebutnya sudah cukup dan tinggal menunggu hasilnya saja.
Selain itu, minimalnya dampak penurunan suku bunga terhadap likuiditas dan pertumbuhan kredit juga bisa terjadi apabila tidak diimbangi oleh kebijakan fiskal dan sektor riil yang ekspansif dan longgar. Sehingga, kata Piter, perlu bantuan dari regulator fiskal dan sektor riil yakni pemerintah.
Sementara itu, penurunan suku bunga acuan keempat kalinya menjadi lima persen dinilai telah diprediksi oleh pasar. Kondisi global dan domestik yang stabil dan cukup positif memberi ruang untuk BI kembali menurunkan suku bunga.
Penurunan ini tetap dibutuhkan dalam rangka mendorong permintaan kredit yang pada ujungnya bisa meningkatkan konsumsi dan investasi sehingga bisa membantu pertumbuhan ekonomi. Ditengah lambatnya transmisi penurunan suku bunga acuan ke suku bunga kredit perbankan, korporasi atau industri mencari pendanaan dari pasar modal.
Piter menyampaikan ini respons yang biasa terjadi. Ditengah penurunan suku bunga, maka investor akan beralih ke instrumen yang memberikan return yang lebih besar yaitu saham atau obligasi.