REPUBLIKA.CO.ID, HONOLULU – Seorang bartender dari Lithuania yang tinggal di Hawai bernama Laura Berry, tengah menjalankan sebuah misi. Berdiri di sebuah ruangan yang menyimpan keramik abad ke-13 dan tempat shalat dari Iran, dia mencoba menghitung berapa banyak manusia yang berjajar di ambang pintu.
Itu merupakan bagian dari acara 'Perburuan Pemburu: Tokoh dalam Seni Islam' yang digelar baru-baru ini di Museum Seni, Budaya & Desain Islam Shangri La, di Honolulu. Museum tersebut dibangun pada 1937 sebagai rumah bagi pewaris miliuner Amerika Doris Dulke.
Hanya saja dia meninggal ketika usia 80 atau pada 1993 lalu. Ia kemudian berwasiat, agar properti itu bisa digunakan untuk sarjana, mahasiswa, dan orang lain yang tertarik pada kelanjutan serta pelestarian seni Islam.
Maka pada 2002, rumah itu diresmikan menjadi museum. Dalam museum tersebut ditampilkan banyak benda yang dikumpulkan Duke dari perjalanannya ke seluruh dunia.
Kini, kurator museum terbaru sedang mencoba menjangkau lebih banyak pengunjung. Di antaranya lewat acara perburuan serta menampung seniman yang bertugas mengeksplorasi budaya Muslim juga Hawai lewat cara baru.
Beberapa tahun sebelumnya, ada residensi yang menampilkan beragam bentuk seni tradisional seperti miniatur dan kaligrafi. Hanya saja baru-baru ini lebih banyak partisipan yang terlibat seperti musisi The Reminders, komedian Hari Kondabolu, presenter kondang Taz Ahmed dan Zahra Noorbakhsh, serta lainnya.
Bulan ini, sebuah kelompok dari Indonesia yakni Papermoon Puppet Theatre yang menampilkan pertunjukan kontemporer pada wayang kulit tradisional turut hadir di Museum. Selanjutnya bulan depan, museum akan menjadi tuan rumah dari pertunjukkan Anida Yoeu Ali.
Direktur Eksekutif Museum, Konrad Ng, mengatakan sejak 2016, ia ditugaskan untuk mengaktifkan tempat tersebut melalui cara-cara baru. "Idenya adalah untuk menjadi lebih luas dalam jangkauan kami ke publik dan untuk bereksperimen, jadi benar-benar memikirkan museum sebagai garasi inovasi untuk ide-ide," jelasnya seperti dilansir The New York Times, Kamis, (24/10).
Gagasannya, lanjut dia, yaitu memiliki seniman atau pemikir budaya yang terlibat dalam misi, koleksi, memahami potensi, dan menafsirkannya. "Dalam banyak hal, jadilah kompas moral yang menentukan ke mana museum ini seharusnya pergi," tutur Konrad.
Lebih lanjut, ia menuturkan, museum memiliki peran khusus dalam demokrasi. Maka dirinya siap melawan meningkatnya xenofobia.
"Kami kadang-kadang dipandang sebagai sumber daya terpercaya untuk publik, dengan cara itu kami adalah firewall. Seolah-olah dalam wacana sipil untuk memahami perspektif yang mungkin sulit dipahami atau kompleks," jelasnya. (Iit Septyaningsih)