Kamis 24 Oct 2019 21:00 WIB

3 Elemen Unik dalam Penerapan Syariat Islam di Brunei

Penerapan syariat Islam dipengaruhi visi misi kerajaan.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Nashih Nashrullah
Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Brunei Darussalam.
Foto: Wikimedia
Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Brunei Darussalam.

REPUBLIKA.CO.ID, Islamisasi hukum nyaris tidak dikritik di Brunei, tidak seperti di negara tetangga Malaysia. Hal ini menurutnya disebabkan karena tiga elemen yang disebutnya unik, yang mengakibatkan kurangnya wacana internal yang bisa diperdebatkan.

Kerstin Steiner, Associate Professor dan Direktur (Internasional) di La Trobe School, La Trobe University di Melbourne, Australia, dalam artikelnya 'The State of Islam in Brunei', dilansir di East Asia Forum, Kamis (24/10), menjelaskan faktor pertama yaitu adanya monopoli wacana Islam secara resmi. Kedua, munculnya pemahaman monolitik tentang Islam. Kedua hal itu menurutnya semakin diperkuat kurangnya masyarakat sipil yang kritis.

Baca Juga

"Islam adalah salah satu pilar utama negara ini dan terlebih lagi raja absolut yang mendapatkan otoritas dan legitimasi dari Islam," kata Steiner. 

Lebih lanjut, Steiner mengatakan bahwa Brunei adalah monarki Islam absolut yang mirip dengan Arab Saudi. Dalam hal ini, pemerintahan di bawah Sultan mencakup semuanya, termasuk hukum (termasuk eksekutif, legislatif, dan otoritas yudisial yang dapat dibantah), politik dan agama.

Ketiga aspek itu, menurutnya, tidak dapat dipisahkan dalam 'Personaleinheit' Sultan. Ketidakterpisahan ini tercermin dan secara resmi diabadikan dalam ideologi negara Melayu Islam Beraja (Monarki Muslim Melayu), yang secara eksplisit menyamakan kedaulatan dan legitimasi politik dengan Kesultanan, Islam dan identitas Melayu. 

Monopoli ini selanjutnya dilindungi melalui langkah-langkah legislatif. Misalnya, SPCO 2013 menjadikannya tindak pidana jika mengabaikan, menunjukkan penghinaan, bertentangan, menentang atau mengkritik titah (pidato kerajaan) atau keputusan Sultan dengan hukuman penjara lima tahun. Jika pelaku mengabaikan, menunjukkan penghinaan, bertentangan, menentang atau mengkritik anggota Dewan Agama Islam Brunei (Majlis Ugama Islam Brunei), hukumannya adalah denda maksimum 2.000 dolar Brunei dan atau hukuman penjara hingga enam bulan. Ketentuan ini berlaku bagi Muslim dan non-Muslim. 

Selain itu, mengeluarkan fatwa (keputusan atau pendapat agama) atau mengajar Islam tanpa otorisasi negara yang tepat juga akan didenda sebesar 8.000 dolar Brunei (5870 dolar AS) dan atau dua tahun penjara.

Adanya kriminalisasi dalam penyelewengan dari interpretasi Islam yang disetujui secara resmi itu menyebabkan sulitnya untuk mengekspresikan perbedaan politik atau agama di Brunei. Selain itu, Steiner menyebut bahwa kondisi politik tertutup di sana adalah fakta bahwa Brunei berada dalam keadaan darurat konstan sejak 1969.

Penerapan hukum Islam di Brunei memang masih menuai kritik internasional. Akan tetapi, di sisi lain wacana nasional di dalam negeri Brunei sendiri belum muncul.  

Mengingat status agama dan politik Sultan, menantang kewenangannya sama dengan menentang negara itu sendiri. Sejauh ini, kata Steiner, warga Brunei belum melakukan upaya untuk mengambil langkah-langkah semacam itu. 

Meski begitu, ia menyebut Brunei memang stabil secara politik sejak munculnya pemberontakan pra-kemerdekaan yang gagal pada 1962. Namun, di sini ia menekankan bahwa kondisi stabil itu dipandangnya mengakibatkan keadaan darurat seperti yang masih berlangsung hingga kini.  

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement