Kamis 24 Oct 2019 23:57 WIB

Nasihat Imam Nawawi Soal Etika Berbangsa dan Bernegara

Kehidupan berbangsa dan bernegara penting berdasar etika Islami.

Rep: Erdy Nasrul / Red: Nashih Nashrullah
Sidang paripurna DPR-RI (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA
Sidang paripurna DPR-RI (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Karya Syekh Nawawi al-Bantani berjudul al-Futuhat al-Madaniyah fis Syu'ab al-Imaniyah merupakan kitab penuh hikmah yang mengajarkan masyarakat tentang keimanan. Dia menjelaskan beberapa akhlak yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti mengemban kekuasaan dengan adil pada poin ke-50. Pemimpin harus membuat keputusan dengan benar di tengah masyarakat.

Hindari hawa nafsu yang hanya membawa pemimpin kepada ke pentingan segelintir orang dan mengabaikan kemaslahatan masyarakat luas. Kepemimpinan akan dipertang gungjawabkan di kehidupan dunia sekaligus akhirat. Masyarakat akan menilai apakah kepemimpinan berjalan dengan baik atau tidak. Allah juga akan mengganjar kepemimpinan baik dengan pahala atau bahkan siksaan.

Baca Juga

Kekuasaan yang paling kecil adalah atas diri sendiri dan seluruh anggota tubuh. Laksanakanlah segala aturan Allah pada diri Anda karena Anda adalah wakil Allah atas segala kondisi pada diri sendiri dan semua yang lebih luas dari itu, tulis syekh kelahiran 1813 masehi.

Termasuk akhlak berbangsa adalah patuh kepada pemimpin (ulul amr). Meskipun pemimpin itu adalah seorang budak buruk rupa, masyarakat wajib menaatinya, selama apa yang diperintahkan adalah kebaikan.

Dalam menjelaskan poin ke-51 ini, Syekh Nawawi menuliskan kisah seorang non-Muslim memasuki sebuah daerah. Ketika itu dia melihat masyarakat ramai ber kerumun untuk menyaksikan pemimpin mereka datang. Orang tersebut ikut berkumpul. Ketika itu dia tercengang, karena pemimpin yang dimuliakan itu dulunya dia kenal sebagai budak.

Sejak itu dia menyadari bahwa Allah de ngan kuasanya mampu mengubah mem bolak-balik keadaan manusia. Dia ke mudian mengikrarkan keimanan kepada Allah dan Rasulullah.

Secara tersirat Syekh Nawawi menjelaskan bahwa iman tak sekadar tertanam dalam hati atau sebatas kata-kata manis. Lebih dari itu, keyakinan harus terwujud dalam laku-kata yang terpuji, yang tidak menyakiti hati orang lain, mendukung kemajuan hidup, dengan dasar keimanan yang kokoh.

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement