REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memprediksi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada kisaran dua persen hingga 2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir tahun ini. Adapun proyeksi ini mengalami kenaikan sebesar 1,87 persen dari target APBN 2019.
Direktur Jendral Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman mengatakan pelebaran defisit disebabkan kondisi ketidakpastian global yang turut menekan perekonomian dalam negeri.
“Defisit bisa saja melebar kisaran 2 persen-2,2 persen terhadap PDB full year hingga akhir tahun ini. Sifatnya masih kisaran karena ketidakpastiaan masih cukup tinggi,” ujarnya saat konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (25/10).
Menurutnya pelebaran defisit juga disebabkan oleh penerimaan negara yang lebih rendah dibandingkan belanja negara. Apalagi proyeksi defisit lebih tinggi dibandingkan proyeksi outlook terakhir sebesar 1,93 persen terhadap PDB.
“Defisit outlook hingga akhir tahun 1,93 persen,” ucapnya.
Berdasarkan data terakhir Kemenkeu, defisit per akhir Agustus 2019 sebesar 1,24 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan defisit APBN 2018 pada periode sama sebesar 1,02 persen.
Kendati demikian, pihaknya mengimbay masyarakat atau pasar keuangan tidak perlu khawatir terhadap pelebaran defisit pada tahun ini. “Not bad defisit itu artinya ketika ekonomi dalam tekanan kita butuh stimulus supaya ekonomi tidak terpuruk dalam karena APBN alat menghadapi perekonomian kita,” jelasnya.
Ke depan pemerintah berupaya mengambil langkah kebijakan stimulus guna mendorong perekonomian dalam negeri. Pemerintah pun tetap menjaga defisit tidak lebih dari batas sebesar tiga persen yang ada pada Undang-Undang APBN.
“Kita prudent dan ada batas-batasnya. Kami akan tetap jaga dan konsisten sesuai perundang-undangan, kita selalu punya rambu-rambu,” ucapnya.