REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketika Ali Ma’shum pulang dari Makkah, tahun 1941, Indonesia sedang mengalami penjajahan Jepang. Kesulitan hidup yang dihadapi masyarakat mengakibatkan pesantren sepi, ditinggalkan santrinya yang pulang kampung dan tidak mampu kembali ke pesantren lagi. Saat-saat sulit seperti itulah yang dihadapi Ali Ma’shum sekembalinya dari Makkah. Tapi, ia tetap berteguh hati untuk menata pesantren ayahnya di Lasem.
Setelah sekitar dua tahun perjuangannya menghidupkan pesantren mulai membuahkan hasil, ia dihadapkan pada ujian yang lain. Ibu mertuanya, Nyai Munawir, menghadap KH Ma’shum dan meminta agar Ali Ma’shum pindah ke Krapyak untuk meneruskan mengasuh Pesantren Krapyak yang ditinggalkan oleh KH Munawir yang meninggal dunia pada 1942.
Dengan berat hati, ia pun meninggalkan Lasem, tanah kelahirannya, serta orang tua dan pesantrennya untuk memenuhi panggilan tugas yang lebih berat. Ketika Kiai Ali Ma’shum mengambil alih kepemimpinan Pesantren Krapyak, perkembangan pesantren tersebut memang kurang menggembirakan.
Langkah awal yang dilakukan Kiai Ali untuk membenahi pesantren adalah mendidik kader-kader yang akan ikut mengelola pesantren. Madrasah yang ada, karena hidupnya saat itu tengah kembang kempis, terpaksa beliau bubarkan. Selama dua tahun (1943-1944) dia secara khusus mengajar 10 orang keluarga dan tetangga dekat secara intensif.
Sesuai dengan keyakinan dan pengalaman yang dimilikinya dalam mendidik, beliau menerapkan metode belajar-mengajar yang logis untuk memahami ilmu keagamaan. Selain berhasil mendidik dan mengajar mereka, ternyata langkah itu sangat strategis dan berhasil menyiapkan tenaga untuk mengembangkan Pesantren Krapyak di masa berikutnya.
Pesantren Krapyak yang didirikan KH Munawir pada 1910 ini terletak di wilayah Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pesantren tersebut dikenal sebagai Pesantren Alquran karena mengkhususkan pengajaran hafalan Alquran dan qiraat tujuh (qiraat sab’ah). KH Munawir yang pernah menimba ilmu di Makkah selama 21 tahun memang dikenal sebagai seorang ulama yang hafal dan ahli Alquran.
Kedatangan Kiai Ali Ma’shum di Pesantren Krapyak ini tidak menghilangkan ciri khusus pesantren itu, Alquran. Alquran tetap dipertahankan dan ditambah dengan pengajian kitab. Mula-mula Kiai Ali didampingi dua putra KH Munawir, yaitu Kiai Abdullah Affandi dan Kiai Abdul Qadir, untuk memegang pengajaran tahfiz Alquran.
Setelah Kiai Abdul Qadir wafat pada 1961 dan disusul Kiai Abdullah Affandi pada 1968, dia didampingi putra-putra KH Munawir yang lain yang telah berhasil dikader, yaitu KH Zaini, KH Zainal Abidin, KH Warson, KH Dalhar, dan KH Ahmad.n