REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo telah menunjuk Erick Thohir sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Posisi ini dinilai memiliki pekerjaan rumah yang sangat berat, karena banyak perusahaan-perusahaan BUMN yang saat ini masih mengalami kerugian dan memiliki utang besar.
Menurut Ekonom senior Indef Aviliani, untuk BUMN yang mengalami kerugian perlu ditinjau perlu tidaknya dipertahankan. Apabila tidak lagi mempunyai prospek ataupun terus merugi, perlu adanya keputusan untuk diakuisisi BUMN lain yang akan mampu menambah value chain.
"Termasuk BUMN yang memiliki hutang besar harus dievaluasi kembali apabila masih punya prospek dan mampu untuk mengembalikan, atau justru bila dilanjutkan justru dapat merugi, perlu diambil keputusan," ujar Aviliani dalam diskusi Indef dengan media, Sabtu (26/10).
Upaya lain yang perlu dilakukan untuk membenahi BUMN adalah dengan melanjutkan rencana holding BUMN. Hal ini dimaksudkan agar sesama perusahaan BUMN tidak saling bersaing, tetapi saling sinergi, berekosistem dan memberi nilai yang lebih besar.
Adapun BUMN besar yang mendapat sorotan publik seperi Garuda Indonesia, Asuransi Jiwasraya dan Krakatau Steel perlu segera dibenahi. Menurut Aviliani karena hal ini akan menpengaruhi reputasi BUMN dan pemerintah.
Selain itu, penerapan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) dari BUMN perlu diimplementasikan, terutama yang belum go public. Kewajiban pelayanan umum atau public service obligation (PSO) BUMN disarankannya tidak lagi monopoli, tapi mempunyai kesempatan yang sama dengan pelaku lain.
Tantangannya, Kementerian akan berhadapan dengan politisi dan pemburu rente. Peluangnya bila mampu membenahi BUMN, maka kontribusi aset dan laba akan meningkat.
"Itu PR penting untuk Menteri BUMN. Wamen memang diperlukan untuk mengawal implementasi kebijakan dan pencapaian KPI," kata Aviliani.