REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Hilman Tisnawan, mengatakan daya saing industri manufaktur dalam negeri masih relatif sulit untuk meningkat. Hal ini terhambat karena kurang produktifnya Sumber Daya Manusia (SDM).
"Hal ini menyebabkan daya saing industri manufaktur menjadi rendah dan banyaknya pengangguran terdidik," kata Hilman dalam keterangan resminya belum lama ini.
Ia menjelaskan, keterampilan tenaga kerja masih kurang. Saat ini, masih ada industri yang kesulitan mencari tenaga kerja terampil. "Sementara itu pada industri high tech seperti otomotif memerlukan skill yang tinggi, sehingga perlu investasi pendidikan yang lebih tinggi," jelasnya.
Selain itu, adanya celah pengetahuan dan inovasi juga menyebabkan rendahnya daya siang industri manufaktur dalam negeri. Menurutnya, perkembangan yang terjadi di industri lebih cepat dibanding yang diajarkan di bangku pendidikan.
Tentu hal ini menyebabkan celah pengetahuan antara industri dan akademis menjadi lebar. Bahkan, dari sisi riset pun, belum banyak sinergi antara dunia akademik dengan pelaku usaha.
"Dampaknya inovasi yang dihasilkan melalui riset terapan menjadi rendah. Sementara itu, di sisi pendanaan riset, hanya 18,8 persen dari toral dana riset yang dapat digunakan untuk riset terapan," kata Hilman.
Hilman juga mengatakan, biaya tenaga kerja di Indonesia cenderung lebih mahal dengan tingkat produktivitas yang lebih rendah. Bahkan, tingkat upah di Indonesia secara umum per tahuannya dua kali lipat lebih tinggi dari Vietnam.
"Adapun jumlah jam kerja tenaga kerja di Indonesia 40 jam per minggu, justru lebih rendah dibandingkan negara tersebut yakni 48 jam per minggu," katanya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, katanya, tidak bisa dilakukan secara instan. Perlu penguatan sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan lembaga pendidikan untuk meningkatkan produktivitas dari SDM industri manufaktur.
Sebagai quick win, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dari tenaga kerja. Pertama perlu terus dilakukan skilling, reskilling dan up skilling untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja.
Kedua, implementasi dari super tax deduction perlu untuk terus dikawal. Hal ini dilakukan agar industri terus meningkatkan investasi SDM. Ketiga, standarisasi dan sertifikasi keahlian juga menjadi penting. Peran balai pelatihan kerja, lanjutnya, perlu terus direvitalisasi dan disinergikan dengan asosiasi.
"Sehingga, kebutuhan tenaga kerja dengan keterampilan tertentu dapat cepat terpenuhi," katanya.
Keempat, diperlukan peningkatan sinergi antar pelaku usaha dan dunia akademis dalam Rresearch and Development (R&D), serta inovasi. Yang mana, pemerintah dapat menjadi fasilitator untuk mengembangkan riset terpadu yang dapat digunakan secara bersama-sama, sehingga menciptakan efisiensi dalam R&D.