Tewasnya hampir 40 orang - sebagian besar warga Vietnam di Inggris pekan lalu - mengingatkan Nasir Ahmad akan pengalaman yang sama yang dilakukannya di tahun 2015.
Berikut kisah Nasir Ahmad yang harus meninggalkan negerinya Afghanistan, dan sekarang tinggal di Austria, perjalanan berhari-hari di atas truk.
Empat tahun lalu, saya juga diseludupkan masuk ke Eropa menggunakan truk bersama keluarga, dan melihat wanita dan anak-anak mengalami kesulitan bernapas di dalam truk yang tertutup.
Ketika mendengar cerita mengenai puluhan orang yang tewas dalam sebuah truk di Inggris baru-baru ini, saya ingat lagi perjalanan saya sendiri dari Afghanistan ke Austria.
Kami dengan mudah bisa menjadi korban seperti mereka. Istri saya, saya dan anak-anak kami hanya bisa menangis mendengar cerita mereka.
Saya lahir di Kabul tahun 1975, empat tahun sebelum Uni Soviet menginvasi Afghanistan. Selama hidup saya kemudian hanya perang yang kami alami.
Ayah saya punya toko perabotan, dan ibu adalah ibu rumah tangga dan ketika berusia 17 tahun saya sekolah untuk jadi perawat. Di tahun 1992, kelompok mujahidin memulai perang saudara di sana.
Setiap hari ratusan warga sipil yang terluka dibawa ke ruma sakit. Saya menghabiskan waktu setiap hari membantu mereka yang cedera.
Saya masih memiliki rekaman video dengan gambar-gambar mereka yang luka-luka ini membayangi pikiran. Di tahun 1996 Taliban mulai berkuasa dan semuanya berubah.
"Kami dapat peringatan"
Kami berasal dari suku Hazara, suku yang tidak disukai kelompok Taliban yang sebagian besar berasal dari Suku Pashtun. Satu hari seorang dokter Pashtun datang dan memperingatakan kepada saya untuk meninggalkan Afghanistan segera.
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya kemudian memelihara brewok, mengenakan pakaian seperti Taliban, dan melarikan diri ke Pakistan dengan seorang teman. Namun karena rindu dengan Afghanistan, saya kemudian kembali lagi.
Tahun 2001, ketika Amerika Serikat mengusir Taliban, saya belajar Hukum dan menjadi pegiat hak asasi manusia. Salah satu kerja saya adalah menghadiri pertemuan dengan pemuka agama (mullah) dan setiap kali saya berbicara mengenai hak perempuan, mereka marah.
Mereka mengatakan kepada saya kalau saya tetap bersikeras mengatakan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, mereka akan membunuh saya.
Saya diserang dua kali di jalanan kota Kabul dan harus dirawat di rumah sakit.
Kemudian di satu hari seorang tukang roti di dekat rumah membangunkan saya jam 5 pagi dan mengatakan ada kelompok 12 orang bersenjata yang mendatangi kedai rotinya membawa foto saya dan bertanya dimana saya tinggal.
Saya menyadari keadaannya jadi serius. Saya dan istri saya memutuskan melarikan diri malam itu bersama keenam anak kami yang berusia antara dua sampai 14 tahun. Ketika itu bulan September 2015.
Sepupu saya menemukan seorang penyelundup yang bisa membawa kami ke Turki. Di Afghanistan penyelundup manusia ada dimana-mana.
Diperlukan biaya sekitar Rp 200 juta untuk satu keluarga, dan sepupu saya akan menggadaikan rumah kami yang kecil di Kabul untuk membayar penyelundup tersebut ketika kami tiba di Turki.
"Kami tidak punya makanan dan hanya dua botol air"
Kami berangkat menggunakan bus ke Nimroz yang berbatasan dengan Iran dan Pakistan dimana ada ratusan restoran dan hotel yang mengiklankan penyelundup manusia. Ini perjalanan yang berbahaya khususnya bagi warga suku Hazara.
Penyelundup manusia ini harus membayar suap kepada Taliban sehingga mereka tidak menyerang. Penyelundup dan polisi bekerja sama seperti sebuah kelompok mafia besar, dan perbatasaan itu dikuasai oleh Taliban dan Alqaidah. Mereka bekerja sama dan ini merupakan bisnis besar.
Ada lebih dari 50 orang di dalam truk pick up yang kami naiki, perempuan, laki-laki, anak-anak tua dan muda, berdiri di belakang.
Pick up itu berjalan kencang dan saya melihat dengan mata sendiri orang terjatuh dari truk.
Banyak orang terluka. Saya harus merangkul dua anak saya selama delapan jam dalam perjalanan yang sulit tersebut. Di tengah gurun di Pakistan, truk kami mogok, dan kami ditinggal sendirian selama 24 jam, dikelilingi oleh Taliban dan Alqaidah.
Kami tidak punya makanan dan hanya punya dua botol air minum. Sebuah pick up datang dan kemudian membawa kami ke perbatasan Iran. Tidak ada jalan di situ dan kami harus berjalan kaki melewati pegunungan di malam hari.
"Sulit sekali untuk bernapas"
Diperlukan waktu delapan jam untuk mencapai Iran. Di situ dua truk sudah menunggu kami, dan sekitar 170 diantara kami berdesakan di dalamnya.
Hampir tidak ada udara dan kami sulit sekali bernapas. Beberapa perempuan kemudian pingsan. Kami meminta supir untuk berhenti, namun mereka tidak mau karena takut akan ditangkap polisi Iran.
Kami mendengar truk satunya lagi ditembak oleh polisi, dan orang-orang ditangkap dan dikembalikan ke Afghanistan. Sopir kami ketakutan dan meninggalkan kami di hutan. Kami tidak bisa tidur.
Keesokan harinya sebuah truk besar datang dengan bak tertutup. Semua 80 orang naik ke dalam truk tersebut. Kami memiliki minuman dan makanan, namun tidak ada toilet sama sekali.
Kami berada di truk sekitar 36 jam. Di malam hari kami diizinkan 30 menit ke hutan untuk membuang hajat, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Teheran. Ketika sampai di Teheran, saya ingin tinggal beberapa hari untuk memutuskan tinggal di sana atau harus melanjutkan perjalanan.
Tetapi sepupu saya sudah membuat perjanjian dengan penyelundup manusia bahwa kami akan ke Turki dan uangnya belum dibayar di Kabul sampai didapat kepastian kami selamat tiba di sana.
Kalau kami membayar di depan, mereka mungkin sudah akan meninggalkan kami di tengah jalan, seperti yang terjadi dengan ribuan orang lainnya. Para penyelundup ini membawa kami ke sebuah pabrik.
Pria bersenjata di sana menjaga guna memastikan kami tidak melarikan diri. Seluruh penyelundup yang kami temui berasal dari satu kelompok yang memindahkan kami dari Aghanistan ke Pakistan, Pakistan ke Iran, Iran ke Turki.
Mereka semua punya senjata. Bila ada yang melarikan diri, para penyelundup ini tidak akan mendapat bayaran.
"Kami diterima dengan baik di Yunani"
Keesokan harinya kami naik truk yang sama, dan berjalan selama 20 jam untuk mencapai Turki. Kami harus menyeberangi danau penuh ilalang dengan batu sebagai jalan.
Diperlukan waktu lima jam untuk menyeberang, dan saya harus menggendong salah seorang putri saya yang kakinya cedera. Dua kali istri saya jatuh ke dalam danau, semua kami kedinginan karena hujan, dan basah.
Kami kehilangan seluruh tas bawaan kami dan anak-anak menangis. Ketika berhasil menyeberang kami harus berlari menghindari polisi dan kemudian 80 diantara kami naik truk lagi.
Setelah empat jam lagi kami sampai di sebuah desa di Turki.Di situ kami belum bisa merasa lega, dan bahkan situasinya lebih buruk lagi
Kami dibawa ke sebuah rumah dengan hanya tiga kamar, dua kamar mandi, dan sekitar 300 orang di dalamnya. Kami tidak diizinkan meninggalkan rumah tersebut sampai para penyelundup manusia ini mendapat bayaran mereka. Saya beruntung karena setelah tiga hari sepupu saya membayar sehingga kami bebas.
Perjalanan berikutnya adalah ke Yunani. Kali ini kami naik sebuah perahu karet kecil berisi 80 orang.
Saya harus membawa anak-anak satu per satu, lari dalam air yang semakin lama semakin dalam, dan anak-anak di atas kepala agar mereka tidak tenggelam. Saya kadang masih bermimpi buruk akan hal ini.
Setibanya di Yunani semuanya berubah. Tiba-tiba kami disambut dengan baik. Ada wartawan, ada orang-orang lain yang mau membantu kami. Kami mendapatkan pakaian.
Di Kabul saya bekerja dengan organisasi HAM namun baru di Yunani saya belajar apa sebenarnya arti hak asasi manusia. Dari Yunani menuju ke Austria lebih gampang.
Perbatasan terbuka dan saya sekarang sudah tinggal di sini selama hampir empat tahun bersama istri dan anak-anak. Ini fase baru dalam hidup saya.
Saya harus mulai dari nol: negeri baru, bahasa baru, budaya baru. Tidak ada teman, tidak ada sanak keluarga. Sendirian dan banyak masalah-masalah lain.
Namun saya belajar bahasa di sini. Dan saya punya pekerjaan. Saya bisa melakukan semua ini.
Lihat artikelnya dalam bahasa Inggris di sini