REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Musim kemarau yang berlangsung cukup panjang tahun ini, tidak hanya menyebabkan ribuan warga di Kabupaten Banyumas kesulitan air bersih tetapi juga pada produktivitas pertanian. Salah satunya adalah minimnya air nira kelapa yang dimanfaatkan sebagai bahan baku gula kelapa atau gula semut.
"Musim kemarau menyebabkan manggar atau bunga kelapa banyak yang kering dan tidak mengeluarkan nira kelapa," ujar Suwarno, penderes nira kelapa warga Desa Semedo Kecamatan Pekuncen, Senin (28/10).
Hal yang sama juga terjadi di wilayah lain yang selama ini menjadi sentra penghasil gula kelapa. Nartam (51), warga Desa Pageraji Kecamatan Cilongok, menyatakan menurunnya produksi nira kelapa menyebabkan banyak warga yang sebelumnya bekerja sebagai penderes, terpaksa alih profesi sebagai pekerja serabutan.
"Dalam kondisi seperti sekarang, kami sudah tidak bisa lagi mengandalkan pekerjaan penderes karena hasilnya sudah sangat sedikit," jelasnya.
Agar kebutuhan hidup keluarga bisa terpenuhi, penderes memilih bekerja di tempat lain. Kebanyakan, mereka bekerja sebagai buruh bangunan atau pekerjaan serabutan lainnya.
"Yang penting ada pemasukan untuk keluarga. Banyak yang akhirnya merantau menjadi buruh di Jakarta," katanya.
Dia menyebutkan, kebanyakan petani sini hanya memiliki 10 sampai 15 pohon kelapa yang disadap niranya. Dalam kondisi cuaca normal, mereka bisa memperoleh 12-20 liter nira per hari yang bila diolah menjadi gula kelapa bisa diperoleh 4-6 kg.
Namun dalam kemarau panjang seperti saat ini, Nartam menyebutkan, air nira kelapa yang dihasilkan menurun drastis karena banyak bunga kelapa yang kering. Yang bisanya satu pohon kelapa bisa disadap niranya sekitar 1-2 liter, saat ini rata-rata hanya setengah liter.
"Bahkan sering kali penderes tidak jadi membawa bambu penampung nira dari atas pohon kelapa karena tidak ada air niranya," ujarnya.
Gumuh Sutopo, seorang pengepul gula kelapa dan gula semut di Desa Semedo, mengakui kondisi turunnya produktivitas petani penderes. Kemarau panjang telah menyebabkan nira kelapa yang digunakan sebagai bahan baku gula kelapa dan gula semut turun.
"Kondisi ini berlangsung sejak Agustus 2019 lalu. Berangsur-angsur, gula kelapa dan gula semut yang dihasil petani terus mengalami penurunan," katanya.
Menurunnya produk gula kelapa ini, juga menyebabkan harga gula kelapa mengalami kenaikan cukup tinggi. Gula kelapa yang selama ini paling tinggi dihargai Rp 12 ribu per kg, kini melonjak hingga Rp 16 ribu per kg. Namun sayangnya, harga yang cukup tinggi ini tidak bisa dinikmati petani secara maksimal.