Senin 28 Oct 2019 17:38 WIB

Netanyahu dan Gantz Bahas Pemerintahan Koalisi Israel

Netanyahu dan Gantz akan berbagi kekuasaan dalam pemerintahan koalisi Israel.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan istrinya Sarah memberikan suara mereka dalam pemilu putaran kedua di Yerusalem, Selasa (17/9).
Foto: Heidi Levine, Sipa, Pool via AP
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan istrinya Sarah memberikan suara mereka dalam pemilu putaran kedua di Yerusalem, Selasa (17/9).

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pemimpin Blue and White Party Benny Gantz melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Ahad (27/10). Itu merupakan pertemuan perdana mereka setelah Gantz diberi mandat untuk membentuk pemerintahan koalisi Israel.

“Saya menyelesaikan pertemuan seperti bisnis dengan perdana menteri. Saya dapat memberitahu Anda bahwa saya akan melanjutkan semua upaya untuk membentuk pemerintah persatuan dan mencegah pemilu ketiga untuk Israel,” kata Gantz seusai bertemu Netanyahu, dikutip laman Times of Israel.

Baca Juga

Dia tak menjelaskan apakah telah tercapai kemajuan dalam proses pembentukan pemerintahan bersatu. Namun, keterangan dari kedua belah pihak menyebut Gantz dan Netanyahu sepakat untuk kembali berunding membahas hal tersebut.

Pekan lalu, Netanyahu menyerahkan mandat pembentukan pemerintahan persatuan nasional kepada Presiden Israel Reuven Rivlin. Dia mengklaim telah berupaya keras untuk melakukan pekerjaan tersebut. Namun, upayanya sia-sia karena Gantz selalu menolak.

“Selama beberapa pekan terakhir, saya melakukan segala upaya untuk membawa Benny Gantz ke meja perundingan. Semua upaya untuk membentuk pemerintah persatuan nasional yang luas, semua upaya untuk mencegah pemilu ulang. Saya menyesal berkali-kali dia (Gantz) menolak, dia hanya menolak,” ujar Netanyahu seperti dikutip laman Aljazirah.

Rivlin kemudian melimpahkan tugas pembentukan pemerintahan itu kepada Gantz. Dia memiliki waktu 28 hari untuk membentuk pemerintahan baru Israel. Jika dia mengalami kegagalan seperti Netanyahu, Israel terpaksa menggelar pemilu ulang untuk yang ketiga kalinya tahun ini. Hal demikian belum pernah terjadi sebelumnya.

Israel telah menggelar pemilu pada September lalu. Likud Party yang diketuai Netanyahu memperoleh 32 kursi di parlemen (Knesset). Sementara, Blue and White Party mendapatkan 33 kursi.

Untuk membentuk kabinet atau pemerintahan, sebuah partai di Israel minimal harus memiliki 61 kursi mayoritas di Knesset. Namun, karena pada pemilu September lalu tak ada partai yang berhasil memperoleh kursi sebanyak itu, Netanyahu berupaya membentuk pemerintahan koalisi dengan Gantz.

Salah satu alasan di balik keputusan tersebut adalah agar Israel tak perlu menghelat pemilu ulang untuk ketiga kalinya. Pada April lalu, Israel telah menggelar pemilu dan Likud Party keluar sebagai pemenang. Hasil itu menjamin Netanyahu untuk meneruskan jabatannya sebagai perdana menteri. 

Namun, Netanyahu gagal membentuk kabinet sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan. Karena khawatir jabatan perdana menteri diambil oposisi, dia memutuskan membubarkan parlemen. Konsekuensinya, Israel harus menggelar pemilu ulang. Pemilu dilakukan pada September lalu.

Di bawah skema pemerintahan persatuan nasional, kekuasaan akan dibagi dua secara adil antara Netanyahu dan Gantz. Mereka masing-masing akan menjabat sebagai perdana menteri Israel selama dua tahun. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement