REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Dalam dunia kedokteran donor anggota tubuh sangat dimungkinkan belakangan ini. Donor tersebut tentu didukung dengan rekomendasi dan alat medis yang memadai. Bagaimana sebetulnnya hukum donor?
Pada Juni 2019, Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa MUI No. 12/2019 tentang Transplantasi Organ dan atau Jaringan Tubuh Pendonor Mati untuk Orang Lain. Komisi Fatwa MUI melandaskan fatwa ini dengan beberapa dalil ayat Alquran terkait penciptaan seperti, "Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS aT-Tin: 4).
Tidak hanya itu, Allah SWT juga mengingatkan, semua yang ada di alam semesta merupakan milik Allah SWT. "Ingatlah, sesungguhnya ke punyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi." (QS Yunus: 66).
Untuk itu, kepunyaan itu pun harus dipelihara dengan sebaik-baiknya. "Barang siapa memelihara kehidupan seorang ma nu sia, seakan-akan dia telah memelihara ke hidupan semua manusia. (QS al-Maidah : 32).
Landasan hadis tidak lupa menjadi dalil dari MUI. Beberapa peristiwa bahkan menunjukkan prinsip-prinsip transplantasi yang baru bisa dipraktikkan pada zaman ini. "Sesungguhnya Qatadah bin an- Nu'man jatuh matanya di pipinya ketika perang Uhud, kemudian Rasulullah SAW mengembalikannya kemudian menjadi mata yang paling bagus (HR al-Hakim).
"Sesungguhnya Rasulullah mengembalikan tangan Khabib bin Yusaf yang putus di hari Perang Badar, kemudian Rasulullah mengembalikannya sehingga tidak terlihat (bekas luka) kecuali seperti garis. (HR Ibn Abi Syaibah).
Beberapa kaidah fikih juga menjadi pertimbangan MUI menetapkan fatwa ini. Kaidah fikih, yakni kemudaratan harus di hilangkan, kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan, dalam ke ada an darurat diperbolehkan melakukan yang dilarang, kemudaratan dieliminir sebatas hilangnya kemudaratan tersebut, kesulitan membawa kemudahan, tidak boleh menasarufkan hak orang lain tanpa seizinnya hingga membunuh manusia atau memotong organ tubuhnya tidak diperbolehkan kecuali ada kemaslahatan.
Beberapa pendapat ulama ikut mempertajam pendapat MUI. Salah satunya berasal dari Muhammad as-Syaukani dalam kitab Fath al-Qadir menjelaskan, seorang perempuan hamil meninggal dimungkinkan di perutnya ada janin, dan diyakini janin masih hidup maka perut mayat perempuan tersebut harus dibedah (untuk menyelamatkan janin tersebut).
Kasus ini berbeda dengan kasus ketika seorang lelaki menelan berlian, kemudian meninggal, dan dia tidak meninggalkan harta berharga apapun (kecuali berlian yang ditelan), maka tidak boleh dibedah perutnya (untuk mengambil berlian tersebut).
Hal itu karena kasus pertama adalah mengesampingkan kehormatan/kemuliaan mayat untuk menyelamatkan kehormatan kehidupan (janin) maka dibolehkan. Se dang kasus kedua, mengesampingkan kehormatan yang lebih tinggi, yaitu kemulia an anak adam demi untuk menyelamatkan kehormatan yang ada di bawahnya, yaitu harta (berlian yang tertelan). Dan, tidak demikian dengan kasus yang pertama.
Atas pertimbangan tersebut, MUI menetapkan beberapa ketentuan hukum mengenai transplantasi organ. Pertama, seseorang tidak diperbolehkan memberi atau menjual organ dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain karena organ tersebut bukan hak milik. Untuk itu, pengambilan dan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh tanpa adanya alasan yang dibenarkan secara syar'i hukumnya haram.
MUI juga mengungkapkan, transplantasi organ orang yang meninggal kepada ma nusia hidup diperbolehkan dengan ketentuan adanya kebutuhan mendesak yang dibenarkan secara syar'i. Tidak diperoleh upaya medis lain untuk menyembuhkannya kecuali dengan transplantasi. Bersifat tolong-menolong dan tidak untuk komersial.
MUI pun mensyaratkan adanya pendapat ahli tentang dugaan kuat keberhasilan tranplantasi organ tersebut kepada organ lain. Transplantasi juga harus dilakukan oleh ahli kompeten dan kredibel. Izin keluarga dan atau pemerintah juga diharuskan.
Transplantasi harus dilakukan oleh negara. Tidak hanya itu, MUI mensyaratkan jika transplantasi organ atau jaringan dimaksud tidak termasuk bagi organ reproduksi, genital, dan otak.