Selasa 29 Oct 2019 02:18 WIB

BCA Proyeksi Kredit Masih Lesu Hingga Tahun Depan

Pertumbuhan kredit akan dipengaruhi oleh geliat industri dan daya beli masyarakat.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
PT Bank Central Asia Tbk. memaparkan kinerja bank kuartal III 2019 di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Senin (28/10).
Foto: Republika/Lida Puspaningtyas
PT Bank Central Asia Tbk. memaparkan kinerja bank kuartal III 2019 di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Senin (28/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memproyeksikan pertumbuhan kredit masih akan lesu hingga tahun depan. Direktur Utama BCA, Jahja Setiaatmadja menyampaikan telah menggalang komentar dari para pelaku bisnis dan mendapat sentimen positif secara umum.

"Tapi mereka juga menunggu gebrakan dari kabinet baru, apa nanti masih menunggu-nunggu," kata dia dalam konferensi pers kinerja BCA kuartal III 2019, di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, Senin (28/10).

Baca Juga

Jahja mengatakan pertumbuhan kredit akan dipengaruhi oleh geliat industri dan daya beli masyarakat. Meski beragam strategi sudah dibuat oleh perbankan, jika kemampuan masyarakat dan industri tidak meningkat maka tetap tidak akan efektif.

Jahja mengatakan pertumbuhan kredit BCA pada kuartal III 2019 masih di atas rata-rata industri. Total kredit BCA meningkat 10,9 persen (yoy) menjadi Rp 585 triliun. Sementara industri per September, kredit tumbuh 7,89 persen.

"Tahun ini diluar ekspektasi juga, dari OJK dan BI memperkirakan sekitar sembilan persen, tapi jika melihat potensi yang ada, mungkin hanya delapan persen," kata dia pesimistis.

Hingga tiga bulan ke depan, BCA tidak berani mengantisipasi adanya kenaikan. Tahun lalu, tambahnya, pertumbuhan kredit bisa sangat baik pada kuartal IV karena kondisinya jauh lebih baik dari 2017.

Setelah membaik dari tahun tersebut, 2019 awal memasuki tahun politik yang diwarnai hiruk pikuk pemilu. Sehingga konsumsi masih terdorong. Setelah pilpres selesai, Jahja melihat belum ada satu suasana kondusif karena pasar masih wait and see.

Terkait penunjukkan kabinet baru, Jahja telah menghubungi beberapa korporasi besar yang secara umum memandang sangat positif. Menurut mereka, keberadaan wajah-wajah dari sektor profesional membawa angin segar.

"Tapi harus tetap menunggu hasil apa yang akan diejawantahkan pada program kerja masing-masing menteri kedepan," katanya.

Investor juga selalu melihat prospek bisnis di Indonesia yang dinilai belum hijau. Sejumlah masalah masih menghambat mereka untuk investasi, seperti kemudahan regulasi dan birokrasi. Selain itu, mereka juga berharap pada Undang Undang Tenaga Kerja dan sinkronisasi regulasi hingga ke daerah.

Jahja menjelaskan, dari 94 industri di Cina yang harus relokasi karena perang dagang dengan AS, tidak ada satu pun yang masuk ke Indonesia. Ini menandakan bahwa karpet merah belum tersedia di dalam negeri untuk investor luar negeri.

Menurutnya, faktor-faktor ini sangat berpengaruh pada pertumbuhan kredit. Meski secara optimisme masih ada, tapi tanpa realisasi kebijakan dan daya beli masyarakat maka tidak akan berhasil.

Jahja mengatakan Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan memang sudah membaik dari 96 persen menjadi 94 persen. Namun itu terjadi bukan karena Dana Pihak Ketiga (DPK) yang naik, tapi karena kreditnya lesu. Sehingga DPK masih menjadi limitasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement