REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pakar pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Hamied Wijaya tak menampik jika saat ini masih ada celah pengetahuan antara dunia industri dan dunia pendidikan. Jika kondisi itu dibiarkan berlarut, pada akhirnya Yang mana, daya saing industri manufaktur dalam negeri menjadi rendah.
"Saya mengalami, bagaimana sistem-sistem itu yang kita terapkan sehari-hari. Sementara di dunia akademisi masih begitu-begitu saja," katanya kepada Republika, Senin (28/10).
Menurut Hamied yang juga menjabat sebagai Ketua Kagama Medan ini, dunia pendidikan khususnya Perguruan Tinggi masih ada yang belum menerapkan revolusi industri 4.0. Padahal, dunia industri sudah banyak yang mulai menggunakan teknologi dalam sistem operasionalnya. "Dunia pendidikan masih bicara soal administrasi, surat menyurat yang fisik. Padahal insdustri itu sudah diganti digital yang sistemnya kait-mengait," ujarnya
Direktur SDM Pelindo 1 M.Hamied Wijaya memberikan materi pada seminar di Jakarta, Kamis (5/9).
Hal ini menyebabkan antara industri tidak sejalan. Bahkan, lulusan perguruan tinggi pun menjadi 'gagap' saat memasuki dunia industri. "Sehingga industri berjalan sendiri, akademisi berjalan sendiri. Jadi nanti ketemunya ketika lulusan itu masuk ke dunia industri tidak sesuai kebutuhan," jelasnya.
Untuk itu, pemerintah perlu memperbarui kurikulum dengan memasukkan kurikulum digitalisasi. Baik itu di sekolah maupun perguruan tinggi."Semoga secepatnya dimasukkan kurikulum digitalisasi menghadapi industri 4.0 di sekolah juga," ujar Hamied yang juga menjabat sebagai Direktur Umum dan SDM PT Pelindo I Medan ini.
Sebelumnya, Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DIY, Hilman Tisnawan mengatakan, daya saing industri manufaktur dalam negeri masih relatif sulit untuk meningkat. Hal ini terhambat karena kurang produktifnya Sumber Daya Manusia (SDM). "Hal ini menyebabkan daya saing industri manufaktur menjadi rendah dan banyaknya pengangguran terdidik," kata Hilman dalam keterangan resminya belum lama ini.
Ia menjelaskan, keterampilan tenaga kerja masih kurang. Saat ini, masih ada industri yang kesulitan mencari tenaga kerja terampil. "Sementara itu pada industri high tech seperti otomotif memerlukan skill yang tinggi, sehingga perlu investasi pendidikan yang lebih tinggi," jelasnya.
Selain itu, adanya celah pengetahuan dan inovasi juga menyebabkan rendahnya daya siang industri manufaktur dalam negeri. Menurutnya, perkembangan yang terjadi di industri lebih cepat dibanding yang diajarkan di bangku pendidikan.
Tentu hal ini menyebabkan celah pengetahuan antara industri dan akademis menjadi lebar. Bahkan, dari sisi riset pun, belum banyak sinergi antara dunia akademik dengan pelaku usaha.
"Dampaknya inovasi yang dihasilkan melalui riset terapan menjadi rendah. Sementara itu, di sisi pendanaan riset, hanya 18,8 persen dari toral dana riset yang dapat digunakan untuk riset terapan," kata Hilman.