Senin 28 Oct 2019 20:50 WIB

Nabi Musa AS, Pendosa, dan Anugerah Hujan dari Allah SWT

Pendosa yang bertobat secara diam-diam jadi pemicu anugerah hujan.

Zikir (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA
Zikir (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, *Supriyadi  

Dikisahkan bahwa suatu ketika Bani Israel dilanda kekeringan yang panjang. Tanah kering, cadangan air habis, dan rerumputan pun layu. Kondisi seperti itu menjadikan masyarakat kepayahan. Melihat kondisi yang sedemikian itu, Nabi Musa AS mengajak kaumnya tersebut untuk menunaikan Istisqa, doa bersamasama memohon hujan kepada Allah SWT.

Baca Juga

Setelah beberapa kali dilakukan, ternyata hujan tan kunjung turun. Allah mengabarkan kepada Nabi Musa bahwa di antara kaumnya, masyarakat Bani Israel, ada salah seorang yang gemar berbuat maksiat. 

Oleh karenanya, Allah enggan menurunkan hujan. Nabi Musa pun menyampaikan kabar dari Allah tersebut dan menghendaki agar ia yang merasa gemar berbuat maksiat segera keluar dari kaum Bani Israel. Akan tetapi, tidak ada seorangpun di antara mereka yang keluar. Maka, hujan pun tak kunjung turun. 

Mendengar yang disampaikan Nabi Musa, seseorang yang gemar berbuat maksiat tersebut malu. Ia akan dilecehkan dan dihinakan jika ia menuruti apa yang diperintahkan oleh Nabi Musa untuk keluar dari kaum mereka. Akan tetapi, jika ia tidak keluar, hujan tidak akan kunjung turun dan kekeringan akan semakin panjang saja entah sampai kapan berakhirnya. Orang yang gemar berbuat maksiat itu kemudian mengadu kepada Allah dalam hati bahwa jika ia keluar dari kaum tersebut maka semua orang akan tahu bahwa dialah yang menyebabkan hujun tak kunjung turun. 

Jika semua orang tahu, ia akan merasa sangat malu dan akan dipermalukan sedemikian rupa. Oleh karena itu, ia bertobat kepada Allah. Hujan pun turun dengan deras secara tiba-tiba. Nabi Musa heran dengan hujan tersebut karena sejak tadi belum ada seorang pun yang keluar, tapi hujan sudah turun. Allah pun mengabarkan bahwa orang yang gemar berbuat maksiat tersebut sudah bertobat. 

Sekelumit kisah di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa aib seseorang itu sudah selayaknya tidak dibongkar. Aib adalah sesuatu hal yang membuat seseorang itu malu jika diketahui oleh orang lain. Oleh karena itu, jika kita mengetahui aib orang lain, hendaklah kita menutupi aibnya dan tidaklah kita mengumbar aib orang lain di depan publik, sehingga ia merasa sangat malu. 

Perlu kita ketahui juga bahwa setiap orang itu mempunyai aib sendiri-sendiri, termasuk kita. Kita akan merasa malu jika aib kita tampak oleh orang lain, sehingga kita berusaha menutupi aib kita. Dengan demikian, marilah kita menutupi aib orang lain agar aib kita sendiri juga turut tertutupi.  Allah memberikan kemuliaan bagi orang yang mampu menutupi aib orang lain. Hal itu sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, "Tidaklah seseorang menutupi aib orang lain di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak." (HR Muslim).  

Jika kita menutupi aib orang lain sehingga tidak membuatnya malu, Allah kelak akan menutupi aib kita pada hari kiamat. Dengan kata lain, aib kita yang berupa dosa-dosa itu akan diampuni oleh Allah di akhirat kelak. Namun, tentu saja hal ini berbeda jika menyangkut persoalan hukum. Seseorang yang berbuat kriminal hendaklah tidak ditutupi kesalahannya di muka pengadilan hukum. Ini memang aib, tapi ini menyangkut fikih untuk menjatuhkan hukuman

 

 

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement