Selasa 29 Oct 2019 05:00 WIB

Jangan Gampang Mengumbar Nazar, Ini Alasannya

Hukum nazar pada dasarnya adalah makruh.

Orang berdoa (ilustrasi)
Foto: Esam Al-Fetori/Reuters
Orang berdoa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Acapkali seseorang mengucapkan nazar terkait dengan keberhasilannya atau capaian tertentu dalam hidupanya. Nazar, merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nazar berarti janji (pada diri sendiri) hendak berbuat sesuatu jika maksud tercapai.

Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menjelaskan, kata nazar bermakna kebajikan yang tidak wajib, tetapi diwajibkan seseorang atas dirinya. Sebagian ulama menetapkan nazar sebagai hal yang makruh. 

Baca Juga

Meskipun, apa yang dinazarkan merupakan ibadah seperti shalat, puasa, dan sedekah. Dalilnya adalah hadis dari Ibnu Umar yang diriwayatkan imam Ahmad, Bukhari dan Muslim. "Rasulullah SAW melarang bernazar seraya bersabda, 'sesungguhnya nazar itu tidak dapat menolak sesuatu dan nadzar itu hanya keluar dari orang yang bakhil'. 

Shekh Yusuf Qaradhawi dalam Fikih Kontemporer menjelaskan, hikmah tidak disukainya nazar adalah dapat menjerumuskan manusia dengan prasangka bahwa nazarlah yang menolak takdir. Kemungkinan lainnya, mereka mengira, nazar dapat memastikan keberhasilan apa yang diinginkannya karena nazarnya itu. Karena itu, Rasulullah menjelaskan, "Sesungguhnya nazar itu tidak dapat menolak sesuatu atau tidak dapat mendatangkan kebaikan." 

Bahaya lain menyangkut nazar adalah adanya perasaan meminta balasan. Contohnya, seseorang yang bernazar, jika Allah memberi saya anak laki-laki atau jika Allah SWT memberi saya untung yang banyak niscaya saya akan bersedekah atau memotong hewan kurban atau membangun masjid. Orang yang bernazar itu menggantungkan perbuatan amal baik dan ibadahnya dengan tujuan pribadinya. Jika tujuannya tidak berhasil, dia tidak akan bersedekah, berkurban, dan membangun masjid. 

Contoh ini, merupakan ketidakikhlasan seseorang dalam bertaqarrub kepada Allah. Seperti apa yang disabdakan Rasulullah, ini merupakan gambaran orang bakhil yang tidak mau mengeluarkan hartanya kecuali jika mendapatkan ganti yang lebih besar dari apa yang dia sudah bayarkan. 

Shekh Qaradhawi melanjutkan, rahasia lainnya mengapa nazar dihukumi makruh, yakni karena nazar dapat memberatkan hati dalam melaksanakan ibadah atau amal kebaikan tersebut. Terkadang, timbul keengganan, rasa kikir, dan hawa nafsu yang membuat dia tidak memenuhi hal tersebut. Meski sudah berpendapat bahwa nazar merupakan hal makruh, para ulama sudah berijma bahwa melaksanakan nazar adalah wajib. Terdapat dalil-dalil Alquran dan As Sunah yang mencela orang-orang yang tidak melaksanakan nazarnya. 

"Dan, di antara mereka (orang-orang munafik) itu ada orang yang telah berikrar kepada Allah. 'Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh'. Setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu dan berpaling. Dan, mereka memang orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran).' (QS at-Taubah: 75).

Imam Abu Daud meriwayatkan, pernah ada seorang perempuan datang kepada Nabi SAW. Dia kemudian berkata, "Sesungguhnya saya bernazar hendak memukul kepalamu dengan rebana (untuk menunjukkan kesenangan dan kegembiraan)." Lalu, Rasulullah pun bersabda kepadanya, "Penuhilah nazarmu itu".

Konsekuensi tak penuhi nazar

Islam pun memiliki aturan ketat untuk orang yang sudah bernazar. Jika tidak mampu melaksanakannya, orang tersebut wajib membayar kafarat sumpah. Apa yang dituntut dari kafarat sumpah adalah memberi makan sepuluh orang miskin. Ada tiga cara melakukannya. 

Pertama, memberi makan kepada mereka untuk pagi dan sore hari dua kali (makan pagi dan sore) hingga kenyang dengan makanan yang biasanya diberikan kepada keluarganya. Misalnya, sekali makan dengan nasi dan daging sedangkan waktu makan lainnya diisi dengan nasi saja. Hanya, sebagian ulama, menurut Shaikh Qaradhawi, cukup sekali makan saja.

Kedua, memberi kepada setiap orang dari sepuluh orang miskin itu setengah gantang gandum, kurma atau makanan pokok lainnya. Ini adalah pendapat sejumlah sahabat dan tabiin seperti apa yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. Sementara, Imam Abu Hanifah berpendapat ukurannya adalah setengah gantang gandum atau satu gantang penuh jika bukan gandum.

Ketiga, memberikan uang seharga makanan yang biasa dikonsumsi keluarga kepada orang miskin. Ini dapat dilakukan menurut imam Abu Hanifah. Jadi, mana saja dari ketiga alternatif tersebut yang mudah untuk dilakukan boleh dilaksanakan. "Saya menguatkan alternatif pertama, yaitu memberi makan secara langsung karena itu yang lebih dekat kepada aturan dalam Alquran. "..Memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu..  "(QS al-Maidah: 89).  

 

 

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement