REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie meminta pemerintah menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang pemindahan ibu kota. Keputusan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke daerah di Kalimantan Timur tidak dapat ditetapkan hanya dengan pidato Presiden, tetapi juga harus dibarengi dengan pembentukan UU.
"RUU-nya belum ada, kan baru pidato jadi baru pidato Presiden dengan sopan santun dia minta izin pemindahan ibu kota. Itu jangan minta izin tapi ajukan RUU tentang pemindahan ibu kota," ujar Jimly di Universitas Islam As-Syafi'iyah, Bekasi, Selasa (29/10).
Ia menjelaskan, UU pemindahan ibu kota menjadi dasar bagi pelaksanaan pemindahan ibu kota. Diantaranya menjadi landasan untuk penyusunan anggaran pendapatan belanja negara (APBN) per tahun yang akan dipergunakan untuk kebutuhan pemindahan ibu kota.
Jimly menuturkan, sampai sekarang tidak ada peraturan dasar untuk melakukan pemindahan ibu kota. Seharusnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan memohon izin melakukan pemindahan ibu kota melainkan meminta persetujuan DPR dan melibatkan MPR maupun DPD.
"Barulah setelah UU tersebut disahkan, proses kegiatan yang didukung dengan anggaran belanja APBN dapat ditentukan dalam UU APRB setiap tahun sampai proses pemindahan dinyatakan selesai," kata dia.
Selain itu, UU tentang pemindahan ibu kota dibutuhkan untuk memberikan kepastian hukum karena belasan UU lain yang juga berkaitan dengan ibu kota negara. Seperti UU tentang pemerintah daerah DKI Jakarta maupun UU masing-masing lembaga yang pada ukumnya menentukan kedudukannya di ibu kota negara.
Kemudian, Jimly menyampaikan pertimbangan lain mengenai rencana pemindahan ibu kota. Pertama, apakah yang akan dipindahkan hanya pusat pemerintahan saja atau termasuk juga pusat-pusat bisnis yang tentu akan berpengaruh kepada seluruh organisasi pelaku usaha nantinya.
Ketentuan mengenai hal ini harus tegas ditentukan dalam UU tentang pemindahan ibu kota tersebut. Sehingga, menurutnya, tidak semua latah ikut-ikutan pindah, seperti BUMN dan kantor-kantor pusat pengusaha nasional yang mempunyai kepentingan untuk mendekati pusat-pusat kekuasaan di ibu kota.
Ia melanjutkan, yang kedua, apakah yang akan dipindahkan itu hanya pusat kekuasaan pemerintahan eksekutif dan legislatif saja atau termasuk semua cabang kekuasaan negara kehakiman dan lembaga-lembaga independen lain, seperti KPU, Kejaksaan, KPK, Komisi Yudisial, dan komisi-komisi negara lainnya.
"Saya sendiri mengusulkan agar puncak-puncak cabang kekuasaan kehakiman disendirikan, jangan berkedudukan di tempat kedudukan pusat pemerintahan eksekutif-legislatif dan jangan pula di kota industri dan pusat perdagangan. Sebaiknya dunia peradilan dipusatkan di kota pendidikan dan kebudayaan, seperti misalnya di Yogyakarta atau di Sumatera," jelas Jimly.