Selasa 29 Oct 2019 21:46 WIB

Psikiater Perdebatkan Pesan yang Disampaikan Film Joker

Film Joker turut mendatangkan pelajaran pentingnya berbuat baik terhadap sesama.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Reiny Dwinanda
Film Joker
Foto: Warner Bros via AP
Film Joker

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama adegan penting dalam film Joker, Arthur Fleck alias Joker (Joaquin Phoenix) mengadakan sesi pertemuan terakhir kalinya dengan seorang pekerja sosial (Sharon Washington). Pertemuan itu terjadi di tengah kesehatan mental yang dialami Fleck semakin memburuk.

Dalam sesi tersebut, Sharon sang penyuluh memberitahu bahwa dana untuk program perawatan kejiwaan Fleck telah ditarik.

Baca Juga

“Mereka tak peduli tentang orang-orang sepertimu, Arthur. Dan mereka juga tak peduli tentang orang-orang seperti saya,” kata Sharon kepada Fleck seperti dilansir USA Today pada Selasa (29/10).

Sharon mencoba menjelaskan ketidakpedulian pemerintah terhadap penyakit mental dan kepada orang-orang yang mencoba membantu menangani orang yang mengalami penyakit mental. Momen tersebut menunjukkan perspektif yang tak biasa dalam film yang disutradarai oleh Tood Phillips itu.

photo
Adegan dalam film Joker.

Film dengan rating Restricted paling sukses di Box Office itu menceritakan pria yang bergulat dengan penyakit mental, terjerumusnya Fleck dalam dunia kekerasan, dan tentang asal usul sosok Joker yang menjadi tokoh penjahat paling terkenal dari dunia DC Comics. Para ahli kesehatan mental pun memperdebatkan pesan yang disampaikan dalam film Joker.

Psikiater Vasilis K Pozios dan Praveen R Kambam dari Broadcast Thought, sebuah kelompok yang menyediakan konsultasi kesehatan mental untuk proyek film dan televisi, menyatakan keprihatinan terhadap film Joker yang karakternya terlalu bergantung pada penyakit mental. Dalam film itu, Fleck terlihat bertemu dengan penyuluhnya dan mengambil tujuh obat berbeda untuk menangani kondisinya.

Menurut Kambam, karakter Joker bukan hanya terkait penyakit mentalnya. Film Joker begitu bersusah payah menunjukkan aspek traumatis dalam kehidupan Fleck yang membawanya pada jalan menuju kekerasan.

"Ini kacau, penonton menghubungkan perilaku kekerasan Fleck terutama kekerasan senjata api dengan penyakit mentalnya. Seperti (Fleck) meneruskan membunuh karena dia gila. Itulah kesimpulan yang diterima penonton dan itu sangat disayangkan. Ini memperkuat persepsi orang yang terlalu berlebihan terhadap pengidap gangguan mental," kata Pozios yang khawatir film itu menjadi argumen dalam kasus tindak kekerasan, seperti penembakan masal.

Fleck yang seorang penyendiri kerap mendapat penghinaan. Fleck yang delusional juga menjadi korban kriminalitas saat berada di jalan dan kereta bawah tanah.

Menurut Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan Amerika, sebagian besar orang dengan masalah kesehatan mental tak cenderung mengalami kekerasan dibanding orang lainnya. Faktanya, hanya tiga sampai lima persen kasus kekerasan dapat dihubungkan dengan individu yang mengalami gangguan mental serius. Sementara itu, diilustrasikan dalam film Joker, orang dengan penyakit mental bisa lebih 10 kali menjadi korban kejahatan dengan kekerasan daripada populasi umum.

Sementara itu, Joe Parks, seorang psikiater sekaligus Medical Director National Council for Behavioral Health mengatakan, penggambaran kesehatan mental di Joker tidak penting dan penuh stigma. Di lain sisi, dia memuji Joker sebagai film yang mengingatkan pentingnya berbuat baik terhadap sesama.

"Yang harus diingat, ini adalah film fantasi yang diadaptasi dari penjahat dalam komik, bukan film dokumenter tentang gangguan mental," kata Parks.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement