REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Camat Tebet, Jakarta Selatan Dyan Airlangga mengatakan masalah sosial menjadi penyebab utama terjadinya tawuran antarpemuda di Manggarai, Jakarta Selatan. Ia menjelaskan, mereka (pelaku tawuran) adalah anak-anak usia muda potensial tapi tidak memiliki kesempatan, dalam artian putus sekolah (SMP dan SMA) sehingga tidak memiliki keahlian.
"Selain sosial ditambah lagi faktor budaya," kata Dyan, Rabu (30/10).
Faktor budaya yang dimaksudkan Dyan adalah tradisi tawuran sudah dilakukan turun-temurun dari seniornya. "Bahwa abang-abang mereka dulu seperti itu, dan mereka pun begitu jadi seperti itu (tawuran)," katanya.
Dyan menyebutkan, salah satu upaya yang dilakukan pemerintah daerah mengentaskan permasalahan sosial tersebut lewat kegiatan pelatihan kerja. Pelatihan kerja ini bekerja sama dengan Suku Dinas Tenaga Kerja Jakarta Selatan dan Dinas Tenaga Kerja Pemprov DKI Jakarta dengan mengirim sejumlah pemuda untuk mengikuti pelatihan secara gratis.
"Melatih mereka memiliki keterampilan melalui pelatihan seperti yang ada di sudin tenaga kerja dan balai tenaga kerja, mudah-mudahan mereka punya keahlian untuk melakukan aktivitas positif," kata Dyan.
Selain mengikuti pelatihan, upaya lain adalah menyalurkan para remaja yang tidak memiliki keahlian tersebut sebagai tenaga kontrak Pemprov DKI Jakarta, seperti Petugas Penanganan Prasaran dan Sarana Umum (PPSU) atau tenaga di Bina Marga Sumber Daya Air dan Kehutanan. Menurut dia, setiap tahun Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP) menerima tenaga kerja tanpa keterampilan yang membutuhkan keterampilan fisik saja.
"Nah, kita coba salurkan ke sana jadi mereka ada aktivitas," katanya.
Dyan mengakui, langkah ini belum terlalu banyak bisa menyerap tenaga kerja dari kelompok masyarakat yang kurang produktif tersebut. Ia hanya mampu menyediakan lima sampai 10 orang saja.
Tetapi dia optimistis, kalau terus dilakukan melatih keterampilan anak-anak di kawasan Manggarai tersebut maka tawuran bisa dicegah. Menurut dia, tawuran terjadi karena para pemuda tersebut tidak memiliki aktivitas yang lain dikarenakan persoalan sosial tadi, dengan pelatihan yang diberikan diharapkan mereka memiliki keahlian memperbaiki ponsel dan AC sehingga disibukkan dengan pekerjaannya tidak lagi turun ke jalan untuk tawuran.
"Untuk itu program ini kita prioritaskan mereka yang dituakan (senior)," katanya.
Dyan menambahkan, menuntaskan persoalan tawuran menjadi tugas berat karena dihadapkan pada terbatasnya lapangan pekerjaan dan masyarakat yang tidak memiliki keterampilan. Berkaca pada kejadian tawuran Manggarai September lalu, sekitar 200-300 pelaku tawuran yang ada di Manggarai adalah remaja usia produktif antara 15 sampai 25 tahun yang tidak memiliki keahlian dan putus sekolah.
Dia menyebutkan sebagian besar kepala keluarga di wilayah Manggarai berprofesi sebagai pekerja serabutan. Kondisi ini menyebabkan para pemuda di wilayah tersebut tidak memiliki aktivitas rutin sehingga mengaktualisasikan diri melalui media sosial.
"Di media sosial mereka saling sahut-sahutan dan menentukan waktu untuk tawuran, biasanya diawali dengan membakar petasan dua kali itu tanda untuk main (tawuran), biasanya seperti itu," kata Dyan.