Rabu 30 Oct 2019 11:05 WIB

Bobol Ponsel Pengguna, Whatsapp Gugat Perusahaan Israel

Perusahaan itu diduga meretas 1.400 ponsel tokoh terkenal dan memata-matai mereka.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Ani Nursalikah
Aplikasi Whatsapp (ilustrasi).
Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Aplikasi Whatsapp (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Whatsapp menggugat perusahaan pengawasan Israel NSO Group, Selasa (29/10). Gugatan ini dilayangkan karena perusahaan tersebut membantu mata-mata pemerintah membobol sekitar 1.400 ponsel pengguna di empat benua.

Ponsel-ponsel yang diretas itu terdiri dari ponsel milik diplomat, pembangkang politik, jurnalis, dan pejabat senior pemerintah. Whatsapp mengatakan dalam sebuah pernyataan, 100 warga sipil telah menjadi sasaran.

Baca Juga

Dalam gugatan yang diajukan di pengadilan federal di San Francisco, layanan pesan Whatsapp menuduh NSO memfasilitasi kegiatan peretasan pemerintah di 20 negara. Meksiko, Uni Emirat Arab dan Bahrain adalah negara yang diidentifikasi.

Atas tuduhan tersebut, NSO membantahnya. "Dalam hal sekuat mungkin, kami membantah tuduhan hari ini dan akan dengan keras melawan mereka," kata NSO dalam sebuah pernyataan.

NSO mengatakan, tujuan mereka hanya menyediakan teknologi bagi badan intelijen dan penegak hukum pemerintah yang berlisensi. Mereka membantu memerangi terorisme dan kejahatan serius.

Whatsapp mengatakan, peretasan dilakukan dengan mengeksploitasi sistem panggilan video untuk mengirim malware ke perangkat seluler sejumlah pengguna. Malware tersebut memungkinkan klien NSO secara diam-diam memata-matai pemilik telepon, membuka kehidupan digital, hingga pengawasan resmi.

 

Aplikasi yang dimiliki oleh Facebook Inc ini telah digunakan oleh sekitar 1,5 miliar orang setiap bulan. Whatsapp sering disebut-sebut memiliki tingkat keamanan yang tinggi, termasuk pesan terenkripsi end to end yang tidak dapat diuraikan oleh Whatsapp atau pihak ketiga lainnya.

Laboratorium penelitian keamanan siber yang berbasis di University of Toronto bernama Citizen Lab bekerja dengan Whatsapp untuk menyelidiki peretasan telepon. Lembaga ini mengatakan, sasaran peretasan termasuk tokoh-tokoh televisi terkenal, para wanita terkemuka yang telah menjadi sasaran kampanye kebencian daring, dan orang-orang yang menghadapi upaya pembunuhan dan ancaman kekerasan. Citizen Lab dan Whatsapp tidak mengidentifikasi target berdasarkan nama.

Pemerintah semakin beralih ke perangkat lunak peretasan yang canggih untuk menghindari kebocoran. Pejabat pemerintah mencoba mendorong kekuatan pengawasan untuk bisa memantau kehidupan warganya.

Perusahaan seperti NSO mengatakan teknologi mereka memungkinkan para pejabat menghindari enkripsi untuk melindungi data yang disimpan di ponsel dan perangkat lain. Namun, pemerintah jarang berbicara tentang kemampuan di depan umum, yang berarti gangguan digital seperti yang mempengaruhi Whatsapp biasanya terjadi di bawah bayang-bayang.

Pengacara Scott Watnik menyebut langkah Whatsapp belum pernah terjadi sebelumnya. Penyedia layanan utama cenderung menghindar dari litigasi karena takut membuka tudung dan mengungkapkan terlalu banyak tentang keamanan digital mereka. Dia mengatakan perusahaan lain akan mengawasi perkembangan gugatan.

"Ini tentu bisa menjadi preseden," kata Watnik, yang memimpin praktik keamanan siber di firma hukum Wilk Auslander di New York.

Gugatan tersebut bertujuan melarang NSO mengakses atau mencoba mengakses layanan Whatsapp dan Facebook dalam mencari kerusakan yang tidak ada. Perangkat lunak peretasan telepon NSO telah terlibat dalam serangkaian pelanggaran hak asasi manusia di Amerika Latin dan Timur Tengah.

Sebelum ini, NSO terlibat dalam skandal Panama dan upaya memata-matai seorang karyawan kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Amnesty International. NSO berada di bawah pengawasan ketat atas tuduhan spywarenya memainkan peran dalam kematian jurnalis Washington Post Jamal Khashoggi, yang dibunuh di Konsulat Saudi di Istanbul setahun yang lalu.

Teman Khashoggi, Omar Abdulaziz, adalah satu dari tujuh aktivis dan jurnalis yang telah membawa perusahaan spyware ke pengadilan di Israel dan Siprus atas tuduhan ponsel mereka disusupi menggunakan teknologi NSO. Amnesty juga telah mengajukan gugatan hukum, menuntut Kementerian Pertahanan Israel mencabut izin ekspor NSO untuk menghentikan keuntungan dari penindasan yang disponsori negara.

NSO baru-baru ini mencoba membersihkan citranya setelah dibeli oleh perusahaan ekuitas swasta yang berbasis di London Novalpina Capital awal tahun ini. Pada Agustus, salah satu pendiri NSO Shalev Hulio muncul di "60 Minutes" dan menyatakan spyware-nya telah menyelamatkan puluhan ribu orang.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement