REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isu radikalisme menjadi topik hangat yang digulirkan pemerintah dalam beberapa waktu terakhir. Praktis isu sensitif ini banyak menimbulkan pro dan kontra. Berbagai tokoh, termasuk para politikus menyayangkan isu radikalisme yang dinilai terlalu dibesar-besarkan.
"Isu radikalisme itu telah menimbulkan banyak narasi yang kontraproduktif, membuang energi, dan bisa merusak persatuan bangsa. Apalagi diakui atau tidak, isu itu ditembakkan ke sebagian kalangan umat Islam," ujar Anggota Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN), Dradjad Wibowo, saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (30/10).
Apalagi, Dradjad menambahkan, isu radikalisme yang berkembang saat ini tanpa kriteria dan standar yang bisa diukur secara objektif. Baik mengenai apa garis tegas antara radikal dengan tidak radikal, maupun perkataan atau perbuatan yang bagaimana yang masuk radikal.
"Akibatnya tidak sedikit orang yang asbun soal radikalisme. Bahkan seenaknya mengecap orang radikal," ujarnya.
Dradjad mencontohkan, saat ia mulai kuliah tahun 1982, sering mendengar istilah ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan konotasinya sama dengan radikalisme sekarang. Akibatnya, saat itu jilbab mutlak dilarang. Bahkan, bagi mahasiswi, jangankan kuliah memakai jilbab, memakai kerudung yang agak terbuka saja sudah dicap ekstrem kanan.
"Bahasa sekarang, dia terpapar radikalisme. Tapi pada 1990-an, setelah ICMI lahir, berjilbab mulai hilang cap radikalnya. Istri pejabat hingga PNS mulai terbiasa memakainya," ujarnya.
Artinya, lanjut Dradjad, jilbab yang dulu dilarang dan dicap radikal, ternyata tidak menimbulkan kekerasan apalagi ancaman nasional. Oleh karena itu, Dradjad mempertanyakan ekstrem kanan atau radikalnya di mana?
Maka, tanpa kriteria dan indikator yang jelas, terukur, dan obyektif, isu radikalisme ini justru merusak. Kemudian Drajad pun megimbau agar isu radikalisme ini dihentikan dan beralih ke isu yang lebih bermanfaat untuk bangsa dan negara.
"Lebih bermanfaat kalau kita bersama-sama membangun sistem agar pejabat negara takut korupsi, agar pertumbuhan ekonomi tidak stagnan, agar penerimaan pajak sebagai tulang punggung APBN aman, agar masalah BPJS teratasi tanpa menaikkan premi besar-besaran mulai 1 Januari 2020, dan sebagainya," tutup Drajad.