REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Jaringan Damai Papua yang juga Peneliti LIPI, Adriana Elisabeth berpendapat, perlu ada kajian yang mendalam terkait rencana pemekaran di Tanah Papua. Sebab, menurut dia, pencapaian dari pemekaran yang sudah terjadi sebelumnya belum optimal.
"Pemekaran itu apakah otomatis bisa menyelesaikan persoalan-persoalan mengingat yang kita lihat sekarang kan memang pencapaiannya belum optimal," ujar Adriana saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (30/10).
Ia mengatakan, permintaan adanya daerah otonomi baru (DOB) di level provinsi berasal dari elite politikus lokal di Papua. Sehingga, tidak jauh dari persoalan anggaran untuk pemerintahan daerah baru yang justru tidak berorientasi terhadap kemanfaatan efektivitas anggaran tersebut.
Tujuan pemekaran sebenarnya, jelas Adriana, adalah untuk memperpendek rentang kendali supaya akses-akses pelayanan publik kepada masyarakat itu lebih cepat tersampaikan. Akan tetapi, faktanya tidak selalu relevan dengan tujuan menyejahterakan masyarakat.
Adriana menilai, pemerintahan daerah di Papua tidak bekerja maksimal untuk kepentingan masyarakat. Hal itu terlihat dari tidak tercapainya akses pelayanan pendidikan dan kesehatan kepada masyarakat Papua yang khususnya tinggal di pedalaman.
"Kalau ke Papua ke kota mungkin kita melihat sudah banyak ada perbaikan infrastruktur, itu jelas, tapi kalau kita lebih ke kampung-kampung itu kampung yang dekat kota saja masih banyak keterbatasan sekolah," tutur dia.
Dalam bidang pendidikan, masih terjadi jika guru tidak bisa setiap hari mengajar dan akses yang jauh terhadap sekolah. Di daerah-daerah terpencil masih ada ketiadaan tenaga kesehatan.
Adriana mencontohkan pada kasus Nduga yang terjadi Desember 2018. Terdapat ribuan warga yang mengungsi ke luar Nduga tidak tertangani sampai hari ini hingga menimbulkan korban jiwa.
Masyarakat yang terdampak kasus kerusuhan Nduga mengalami kelaparan dan sakit yang tak mendapatkan pelayanan kesehatan. Apalagi pelayanan pendidikan dengan tidak adanya bangunan sekolah permanen. "Yang masih bisa dijangkau saja seperti itu keadaannya apalagi yang masih jauh dari conectivity, apa yang sedang dibangun ini, dari situ saja sudah bisa dilihat," ungkap Adriana.
Ia juga mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak hanya melihat pemekaran dari apa yang sudah terjadi di tingkat provinsi. Sebab, di Papua, pemekaran kampung juga terjadi, dan sampai hari ini masih ada kampung persiapan pemekaran.
Kemudian, menurut Adriana, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan pemekaran itu sendiri. Apakah pemekaran itu mampu menaikkan perekonomian sehingga menyejahterakan masyarakat untuk jangka panjang.
"Mestinya dilihat dari pemekaran kampungnya seperti apa, baru naik ke kabupaten/kota, baru naik ke provinsi. Kalau pemekarannya itu top down pasti permintaan elite politik, penduduknya oke, segala macamnya oke, tapi kalau kita telusuri dari kampung, level kampungnya itu banyak cerita," imbuh dia.
Salah satu cerita yang ia maksud adalah pemekaran kampung itu sendiri juga berorientasi terhadap anggaran. Sebab, pemerintah saat ini juga mengeluarkan kebijakan dana desa yang jumlahnya relatif besar.
Menurut dia, dana kampung itu membuat kampung-kampung di Papua ingin dimekarkan juga agar mendapatkan anggaran. Anggaran itu digunakan untuk membangun infrastruktur seperti akses jalan, maupun pendidika. Tapi hal lainnya justru digunakan untuk kepentingan kepala kampung itu sendiri.
Diketahui sejak 2014, pemerintah masih dalam kebijakan moratorium DOB hingga waktu yang tidak ditentukan. Moratorium DOB itu juga merupakan rekomendasi LIPI yang disampaikan pada awal periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Menurut Adriana, pemerintah harus melihat kemajuan sumber daya manusia (sdm), pengelolaan ekonomi, budaya, sosial, termasuk hak asasi manusia (HAM) atas DOB yang sudah terbentuk. Kemudian, jika dikaitkan dengan pemekaran di Papua hal itu juga berkaitan dengan Undang-Undang tentang otonomi khusus (otsus) Papua.
"Kalau saya sih setujunya evaluasi otsus dulu ya karena dalam Undang-Undang kan ada setiap tiga tahun kan harus dievaluasi. Malau menurut Mendagri (mantan Mendagri Tjahjo Kumolo) sudah dilakukan," kata dia.