REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemerintah Iran menuding Amerika Serikat (AS), Israel, dan Arab Saudi melakukan intervensi dalam memicu kerusuhan di Irak serta Lebanon. Teheran mengkritik keterlibatan ketiga negara tersebut.
Kepala Staf Kepresidenan Iran Mahmoud Vaezi mengatakan Saudi, Israel, dan AS telah berperan dalam memantik gelombang demonstrasi di Lebanon dan Irak. Dia mengklaim ketiga negara itu telah memberikan dukungan finansial.
Vaezi menyerukan agar rakyat Lebanon dan Irak tetap tenang. “Saran kami selalu menyerukan perdamaian dan (menghentikan) campur tangan pasukan asing di negara-negara ini,” ujarnya, Rabu (30/10).
Saat ini, Lebanon dan Irak tengah dibekap krisis akibat gelombang demonstrasi. Massa di kedua negara itu menyerukan perombakan pemerintahan. Pada Selasa lalu, Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri telah memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya.
Langkah itu diambil setelah warga Lebanon menggelar demonstrasi selama dua pekan. Mereka memprotes kenaikan pajak, termasuk pengenaan tarif untuk panggilan telepon via aplikasi seperti Whatsapp. Mundurnya Hariri pun disambut dengan sukacita.
Namun, para demonstran mengatakan masih akan melanjutkan aksi demonstrasinya. Sejak awal Oktober, demonstrasi pun melanda Irak. Masyarakat di sana turun ke jalan untuk memprotes permasalahan tingginya pengangguran dan sulitnya akses terhadap layanan dasar, seperti air dan listrik.
Pengunjuk rasa berkumpul di Alun-Alun Tahrir di Baghdad, Irak, Senin (28/10). Menurut laporan media, sedikitnya 63 orang meninggal dalam protes tiga hari.
Demonstrasi di Irak telah menyebabkan sedikitnya 170 orang tewas. Mereka adalah korban dari tindakan represif pasukan keamanan Irak. PBB telah mengecam tingginya jumlah korban jiwa dalam aksi unjuk rasa di negara tersebut.
Ulama Syiah terkemuka Irak Muqtada al-Sadr memperingatkan negara tersebut dapat terperosok ke dalam konflik seperti Suriah atau Yaman. Hal itu sangat mungkin terjadi jika pemerintahan saat ini menolak mengundurkan diri.
“Jika Perdana Menteri (Irak) Adel Abdul-Mahdi tidak mengundurkan diri, Irak bisa berubah menjadi Suriah atau Yaman lainnya,” kata al-Sadr.
Pada Senin lalu, al-Sadr telah mendesak Abdul-Mahdi mundur dan membiarkan Irak menggelar pemilu awal. Namun, Abdul-Mahdi mengatakan dia akan mengundurkan diri jika al-Sadr setuju dengan pemimpin koalisi Al-Fatah Hadi al-Amiri, dua blok terbesar di parlemen, untuk membentuk pemerintahan baru.
Al-Sadr adalah putra keempat dari Imam Syiah Irak Ayatollah Muhammad Baqir al-Sadr. Hingga 2004, dia merupakan penguasa de facto bagian kota Sadr, Baghdad. Dia pun mengepalai pasukan Tentara Mahdi.