Kamis 31 Oct 2019 07:17 WIB

Waspada, 88 Daerah Rentan Rawan Pangan

Sebagian dari 88 daerah itu berlokasi di Indonesia bagian timur.

Petani berada di areal sawah miliknya yang kekeringan. (ilustrasi)
Foto: Antara/Dedhez Anggara
Petani berada di areal sawah miliknya yang kekeringan. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) menjalin kerja sama dengan enam kementerian dan lembaga untuk menangani penanganan daerah rentan rawan ketersediaan pangan. Menurut Kementan, saat ini ada 88 kota/kabupaten yang rentan rawan ketersediaan pangan.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, Kementan tak bisa bekerja sendirian untuk mengatasi masalah pangan. Ia yakin, dengan adanya kerja sama dan intervensi dari kementerian dan lembaga terkait, sebanyak 88 daerah tidak akan menjadi daerah rawan pangan.

Baca Juga

"Kita akan coba benahi 88 daerah ini. Saya berharap seluruh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, untuk bersatu dan berkonsentrasi," kata Syahrul dalam acara pendandatanganan perjanjian kerja sama, di Jakarta, Rabu (30/10).

Sinergi penanganan daerah rentan rawan pangan dilakukan dengan Kementerian Sosial, Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, dan Lemhannas.

Syahrul berharap setiap pejabat eselon I di masing-masing kementerian dan lembaga saling berkoordinasi untuk pengentasan daeran rentan tersebut. Menurut dia, penanganan daerah rentan ini bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan membuat masyarakat setempat dapat lebih mandiri untuk hidup.

Syahrul tak menjelaskan nama-nama daerah yang rentan rawan ketersediaan pangan. Namun, sebagian dari 88 daerah itu berlokasi di Indonesia bagian timur.

Kriteria rentan rawan yang digunakan pemerintah cukup banyak. Mencakup persoalan pangan, akses kesehatan, hingga pendidikan. Namun, Syahrul mengatakan, pihaknya telah memiliki pemetaan daerah rentan rawan pangan beserta klasifikasi kerentanan yang ada di tiap daerah.

Dari segi ketersediaan pangan, ia menuturkan, tidak seluruhnya berkaitan dengan pasokan beras sebagai bahan pokok. Sebab, masing-masing daerah memiliki karakteristik pangan pokok yang berbeda. Adapun kebanyakan masalah yang dihadapi setiap daerah hingga rentan rawan pangan berkaitan dengan akses infrastruktur karena lokasi yang terisolasi.

"Pemetaannya sudah ada. Kategori-kategori itu sudah ada di kita. Kita sama-sama turun. Ini bukan pekerjaan baru, sudah lama tapi kita benahi sekarang," tutur Syahrul.

Kementan, lanjut Syahrul, akan berfokus pada penyediaan komoditas pangan. Kementan akan lebih banyak memanfaatkan teknologi citra satelit untuk mengetahui kebutuhan dan potensi komoditas pertanian di tiap daerah. Sementara, enam kementerian lembaga lainnya menjalankan fungsi sesuai lingkup tugas masing-masing.

"Siapkan dulu makanannya, lalu bagaimana ketersediaan lahan dengan kontur tanah. Itu harus diukur sehingga intervensi kita harus jelas," ucapnya.

Syahrul menargetkan masalah daerah yang rentan rawan pangan dapat selesai pada 2020. Penyediaan pangan bagi masyarakat terpencil menjadi prioritas Kementan dalam satu tahun ke depan. "Tingkat kerawanan itu harus kita selesaikan. Minimal satu tahun ke depan mereka tidak kesulitan makan," kata dia.

photo
Kementerian Pertanian bersama dengan Tujuh Kementerian dan Lembaga lain melakukan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) mendukung program pengentasan daerah rentan rawan pangan.

Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementan Agung Hendriadi menjelaskan, Kementan menggunakan sembilan parameter baku dalam menetapkan suatu daerah berstatus rentan rawan pangan. Pertama yakni rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan pangan.

Kedua, persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Ketiga, persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran. Keempat, persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

Selanjutnya, rata-rata lama sekolah perempuan yang berusia lebih dari 15 tahun. Keenam, persentase rumah tangga tanpa akses air bersih. Ketujuh, rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk. Kedelapan, prevalensi balita stunting. Adapun yang terakhir yakni angka harapan hidup pada saat bayi lahir.

Agung mengatakan, dari 88 daerah rentan rawan pangan itu, sebagian terletak di Indonesia bagian timur. Namun, ia menegaskan, bukan berarti dalam satu daerah semua wilayahnya mengalami kerentanan. "Ada titik (rentan rawan pangan) di 88 daerah itu. Dan perlu diketahui, kita masih rentan rawan pangan, bukan sudah rawan pangan," kata dia.

Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Danis H Sumadilaga mengatakan, dalam pengentasan daerah rentan rawan pangan, pihaknya berfokus pada penyediaan infrastruktur air bersih dan sanitasi sejak 2018. Program itu sekaligus salah satu upaya pemerintah untuk mendukung penanganan stunting.

Pada tahun ini, kata Danis, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 63,66 miliar untuk pembangunan infrastruktur air bersih di 180 desa. Sementara, pada 2020, Kementerian PUPR telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 60,5 miliar untuk pembangunan infrastruktur air bersih di 247 desa.

Adapun khusus untuk infrastruktur sanitasi, Kementerian PUPR menganggarkan dana sebesar Rp 290,5 miliar untuk di 830 desa yang tersebar di 82 kota/kabupaten. Anggaran tersebut naik dari dana pembangunan infrastruktur sanitasi 2019 sebesar Rp 212,8 miliar untuk 581 desa.

"Penyediaan infrastruktur air minum dan sanitasi secara berkelanjutan diharapkan bisa mengurangi angka stunting pada bayi dan anak di Indonesia," kata Danis. n dedy darmawan nasution, ed: satria kartika yudha

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement