REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Siang itu matahari memanggang ibu kota sampai udara bersuhu 34 derajat Celsius, tak terkecuali di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat. Sengatan panas telah menggiring manusia-manusia yang berseliweran di kawasan niaga dan komersial itu untuk berteduh. Seperti menggoda, aneka kedai di mal-mal yang ada di sana berlomba menawarkan minuman segar plus suasana nyaman.
Suasana yang sama sekali berbeda bisa ditemukan di Masjid Said Naum, Kebon Kacang. Masjid ini terletak sekitar 200 meter ke arah barat dari Bundaran Hotel Indonesia. Bagi mereka yang berduit, bisa jadi pusat perbelanjaan berpendingin ruangan tadi adalah pilihan untuk berteduh. Namun, bagi masyarakat kebanyakan, justru masjid sederhana inilah oasis pilihan mereka.
Bila sudah lepas Zhuhur, belasan hingga puluhan orang terlihat berselonjor di pelataran masjid ini. Bahkan, tak sedikit yang tidur pulas karena terlena udara sejuk yang mengalir alami. Hadiyanto Basri (59 tahun) salah satu di antara mereka. Ketika ditemui Republika, pria yang mengaku musafir dari Kalimantan itu baru tuntas menunaikan shalat jama.
“Sekalian ngadem,” ucapnya.
Masjid acap disinggahi pengunjung yang ingin berteduh. Umumnya dari golongan pekerja salesman alias penjaja barang. Sering kali mereka beristirahat di tempat itu sekaligus menghitung pendapatan. Suasana masjid yang terbuka dan apa adanya membuat tak terbit rasa sungkan di benak mereka ketika melakukannya.
Masjid Said Naum bukan hanya favorit para peneduh dari golongan penjaja barang. Ada pula golongan pemukim yang biasa tinggal di masjid ini, barang beberapa hari.
Ramai pengunjung Masjid Said Naum juga terkait kebijakan pengelola yang berlaku egaliter. Mereka yang tidur pun tak dilarang asal tak di ruang dalam. “Namanya juga masjid, jadi untuk semua,” kata Sumarno. Mungkin saja, ramainya masjid oleh para peneduh tadi jadi berkah tersendiri. Menurut dia, tromol amal masjid bisa memperoleh derma sekitar Rp 1,5 juta-2 juta per pekan.
Kesederhanaan suasana Masjid Said Naum menjadi magnet utama yang mengundang pengunjung, sementara egalitarianisme pengelola masjid menguatkannya. Dalam kriteria sayembara perancangan, Pemerintah DKI Jakarta memang memasang syarat itu. Masjid ini diharapkan tak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga ruang bagi simpul kegiatan masyarakat di kawasan.
Arsitek Adhi Moersid menerjemahkannya ke dalam rancangan masjid yang teduh nan membumi dengan lingkungan sekitarnya. Material lantai beranda menggunakan teraso yang menyimpan kalor sehingga mampu menguarkan hawa dingin ketika udara panas dan sebaliknya. Teritisan atap pun dibuat panjang sehingga menjadi pembayang alami yang menekuk panasnya sinar matahari.
Dari naungan beranda Masjid Said Naum yang teduh, para pengunjung bisa melihat pucuk-pucuk gedung bertingkat dan pusat perbelanjaan di Thamrin. Mereka yang penat dari hiruk pikuk kehidupan kota bisa rehat sejenak dan bertafakur di sana. Pengunjung tak perlu canggung menepi karena rumah-Nya adalah suaka bagi sesiapa saja.