REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Ribuan demonstran antipemerintah Pakistan berjalan menuju Islamabad pada Kamis (31/10). Mereka menuntut pengunduran diri jajaran pemerintah, termasuk Perdana Menteri Imran Khan.
Sekolah-sekolah, termasuk pertokoan dan perkantoran di Islamabad ditutup saat para pengunjuk rasa berjalan dari kota Lahore. Aksi tersebut digagas oleh Fazl-ur-Rehman, pemimpin salah satu partai keagamaan terbesar di Pakistan, yakni partai Jamiat-Ulema-e-Islam.
Dia menilai Khan, yang mantan atlet kriket, tak kompeten dalam menjalankan pemerintahan. Rehman pun menuding Khan mendapat sokongan militer saat memenangkan pemilu Pakistan tahun lalu.
“Gerakan ini tidak akan berhenti jika kami tidak memperoleh hasil yang diinginkan setelah mencapai Islamabad. Kami ingin pengunduran diri perdana menteri, seluruh majelis palsu, kami ingin membubarkannya,” ujar Rehman.
Dua partai oposisi utama Pakistan telah menyatakan dukungan terhadap aksi yang digagas Rehman. Namun, mereka tidak akan mentoleransi segala tindakan yang inkonstitusional. Pemerintah menginginkan negosiasi dengan oposisi seraya menegaskan akan menindak setiap langkah yang dapat melumpuhkan kegiatan di Islamabad.
Imran Khan memenangkan pemilu Pakistan tahun lalu. Dia telah berjanji memberantas korupsi, membantu keluarga kelas menengah, dan meningkatkan perekonomian negara tersebut.
Namun, dia menghadapi tantangan serius ketika ekonomi Pakistan mengalami kesulitan dengan meningkatnya defisit fiskal menjadi sekitar tujuh persen dari produk domestik bruto. Pakistan pun dibayangi krisis neraca pembayaran.
Inflasi konsumen pada September lalu meningkat menjadi 11,37 persen dari sebelumnya 10,49 persen. Hal itu disebabkan kenaikan harga makanan dan melemahnya rupee terhadap dolar AS sejak akhir 2017. Pada Juli lalu, Pakistan menyetujui bailout sebesar 6 miliar dolar AS dari IMF.