REPUBLIKA.CO.ID, BAKU – Pemerintah Azerbaijan berencana memperkenalkan pendidikan agama wajib dalam kurikulum sekolah dan universitas.
Ketua Komite Negara untuk Pekerjaan dengan Organisasi Keagamaan, Mubariz Qurbanli, mengumumkan bahwa pelajaran yang diusulkan itu akan menjadi instrumen penting untuk memberikan informasi yang lebih akurat dan lebih baik kepada masyarakat tentang kehidupan beragama di Azerbaijan modern.
Dalam artikel yang ditulis Tsypylma Darieva, peneliti senior dan ahli antropologi sosial di the Centre for East European and International Studies (ZOiS), seperti dilansir di laman resmi ZOiS, Kamis (31/10), dikatakan bahwa universitas dan sekolah menengah akan diharapkan untuk mengajarkan sejarah dan makna Islam serta agama Kristen dan Yahudi.
Sementara kurikulum harus disiapkan oleh lembaga yang didukung negara seperti Komite Negara untuk Pekerjaan dengan Organisasi Keagamaan (Azərbaycan Respublikasi Dini Qurumlarla Iş uzre Dovlet Komitəsi), Pusat Multikultural Internasional Baku (Bakı Beyn Belxalq Multikulturalizm Mərkəz), dan Dewan Muslim Kaukasus bergaya-Soviet (Qafqaz Muselmanlari Idaresi).
Dia mengatakan, tujuan dari langkah ini adalah untuk mempromosikan kebijakan multikulturalisme sekuler negara tanpa mengistimewakan Islam secara politis, di samping melawan gerakan radikal dan fundamentalis. Menurutnya, pelajaran ini harus diajarkan dari sudut pandang modern dan sekuler.
Pendekatan yang dilakukan akan mencakup perspektif dari ilmu kehidupan, Pencerahan Eropa, ateisme gaya Soviet, dan teori-teori big bang. Selain itu, kata dia, kurikulum tersebut juga akan memasukkan penjelasan eskatologis Muslim dan Kristen dan mengeksplorasi pendangan serta propaganda gerakan keagamaan radikal.
Namun demikian, rancangan buku teks pertama telah memicu kontroversi pada musim semi 2019. Banyak orang tua yang menganggapnya sebagai pengenaan propaganda agama oleh pemerintah terhadap anak-anak mereka.
Darieva menyebutkan, bahwa sebagian besar penduduk Azerbaijan adalah Muslim dan sebagian besarnya adalah Muslim Syiah. Meskipun hanya sekitar 5 persen dari populasi adalah non-Muslim, negara Azerbaijan semakin menekankan latar belakang multi-agama dan multi-etnis untuk melawan aktivisme agama yang berasal dari bawah.
Pemerintah sangat meningkatkan kendalinya terhadap kehidupan beragama melalui praktik pembatasan, menekan dan bahkan mengkriminalkan praktik keagamaan Muslim di ruang publik sebagai ancaman dari luar negeri, khususnya dari negara tetangga Iran.
Menurut para elite di Azerbaijan, Islam harus dipertahankan sebagai gambaran budaya lokal, dan bukan komponen sosial dari identitas manusia. Lebih tepatnya, Islam budaya adalah bagian dari warisan dan tradisi yang didalangi oleh negara. Karena itu, Islam harus dinyatakan sebagai pilihan individu yang terbatas pada ritual pribadi, pernikahan dan upacara pemakaman, kunjungan ke kuil, dan pemujaan para santa lokal.
Dari 2006 hingga 2008, pemerintah Azerbaijan telah membatalkan sejumlah program televisi Islami. Pada 2010, ada larangan untuk mengenakan jilbab di lembaga-lembaga publik dan sekolah. Hal ini diikuti pembuatan daftar literatur keagamaan yang dilarang untuk tujuan impor, produksi, penjualan atau distribusi tanpa izin dari komite agama negara.
Selanjutnya, Azerbaijan mengamandemen undang-undang tentang kebebasan beragama pada 2015 dan 2017. Selain itu, ada persyaratan registrasi ulang yang ketat dan prosedur birokrasi telah menjadi instrumen kontrol negara atas kelompok-kelompok agama.
Dengan dekrit presiden, maka simbol agama, slogan, dan upacara publik hanya diizinkan di dalam tempat ibadah. Oleh karena itu, melakukan ritual berkabung tradisional Asyura di luar halaman masjid kini dilarang di Azerbaijan. Hal yang sama berlaku untuk prosesi Kristen ortodoks di sekitar gereja pada saat Paskah.
Selama dekade terakhir, para elite Azerbaijan telah menganggap Islam sebagai tantangan politik yang memaksa negara untuk campur tangan dan menciptakan Islam sekuler baru. Misalnya, melalui masjid-masjid yang disponsori negara yang menyeimbangkan masyarakat antara Timur dan Barat.
Namun, Kepala Institut Penelitian Baku, Altay Goyushov, menyatakan skeptis tentang efektivitas pendekatan semacam itu, yang membandingkan upaya yang disponsori negara baru-baru ini dengan upaya Soviet untuk mengendalikan ideologi agama, tidak menghapus 'Islam bawah tanah'.
Guru sekolah dan dosen universitas mengeluh tentang kurangnya buku teks yang ditulis secara profesional yang mengajarkan tingkat pengetahuan agama yang seimbang dalam konteks masyarakat multikultural.
Menurut Darieva, pemerintah Azerbaijan menghadapi dua tantangan serius. Pertama, untuk mengatur konten kurikulum yang cocok untuk tren keagamaan yang berbeda. Kedua, untuk menemukan guru yang terlatih dalam pertanyaan tentang keragaman agama.
Gaya hidup yang ditandai secara religius di Baku tampaknya tumbuh dan membentuk bagian yang terlihat dari gaya hidup perkotaan yang diwujudkan oleh parfum, butik kosmetik, restoran halal, busana hijab, dan agensi yang menawarkan wisata ziarah ke Iran dan Arab Saudi.
Mengingat keinginan otoriter Azerbaijan untuk membuat versinya sendiri tentang agama yang 'pantas', negara cenderung memandang religiusitas masyarakat akar rumput sebagai 'tidak pantas' dan menandainya sebagai pengaruh asing, non-tradisional
Dalam hal ini, Darieva menyebut bahwa pengenalan pendidikan agama yang bersifat mandatori (wajib) itu adalah ekspresi dari doktrin Azerbaijan untuk memperkuat sekularisme dengan mengecilkan agama sebagai penanda identitas nasional. (Kiki Sakinah)