REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang meningkat dinilai belum berdampak pada penurunan kemiskinan. Padahal, ekonomi Jabar termasuk yang paling tinggi di Indonesia dengan angka pertumbuhan pada tahun lalu mencapai 5,64 persen, meningkat dibandingkan 2017 sebesar 5,35 persen.
Menurut Wakil Direktur Analisis Data dan Pemetaan Kemiskinan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Widaryanto, pertumbuhan perekonomian yang semakin baik tersebut tidak berdampak banyak pada penurunan kemiskinan di Jabar. Hal itu terlihat, dari kesejahteraan warga di Jabar sejauh ini belum merata.
Berdasarkan data yang dihimpun Bappenas, Jawa Barat mengalami penurunan kemiskinan yang drastis dalam 10 tahun terakhir, serta pertumbuhan PDRB per Kapita dengan laju yang setara dengan nasional. Namun di periode yang sama, ketimpangan meningkat dan stagnan tinggi. Ketimpangan itu juga dicerminkan dalam pertumbuhan pengeluaran penduduknya yang sangat berbeda antara 10 persen termiskin dan 10 persen terkaya.
"Pertumbuhan ekonominya hanya dirasakan masyarakat midle class ke atas. Sedangkan mereka yang bawah tidak mendapat kue secara bersama," ujar Widaryanto dalam rapat tim koordinasi penanggulangan kemiskinan daerah (TKPKD) Jawa Barat, Kamis (31/10).
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat miskin di Jabar mencapai 3.399.160 jiwa per 2019. Angka itu lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 3.615.790 jiwa.
Widaryanto menjelaskan, masyarakat di perdesaan selama ini memang masih mendominasi masuk dalam kategori miskin. Di Jabar, penduduk miskin pedesaan sekitar 9,79 persen. Artinya dari 100 orang di perdesaan, ada 9 orang miskin. Sedangkan, di perkotaan presentasenya mencapai sekitar 6,03 persen, atau enam dari 100 orang.
"Jelas karena masyarakat pedesan bekerja di sektor yang penghasilannya lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang bekerja di perkotaan," kata Widaryanto.
Menurutnya, kemiskinan di Indonesia termasuk di Jabar sebenarnya telah sampai kepada masyarakat yang memang terbilang sangat miskin. Artinya, mereka yang terdapat miskin bisa disebut merupakan warga dengan pendapatan paling rendah.
"Kalau dibilang ini keraknya kemiskinan. Jadi memang tidak mudah menghilangkannya butuh upaya keras," katanya.
Namun, kata dia, bukan berarti pemangkasan warga miskin tersebut mustahil. Dari data Bappenas, beberapa aspek yang harus disamaratakan pemanfaatannya kepada seluruh warga adalah pembukaan lapangan kerja, perbaikan kebutuhan air bersih, sanitasi, akses ke fasilitas kesehatan, dan pemenuhan pendidikan hingga tingkat SMA.
"Selain itu terdapat potensi penurunan kemiskinan jika bansos terintegrasi, data sasaran diperbaiki dan cakupan kepesertaan ditingkatkan," kata Widaryanto.
Sementara itu, Penjabat Sementara (Pjs) Sekretaris Daerah Jabar Daud Achmad mengatakan, selama ini Pemprov Jabr telah melakukan akselerasi agar jumlah masyarakat miskin di Jabar bisa semakin sedikit. Salah satunya dengan meningkatkan akses kesehatan.
Tahun ini, kata dia, Pemprov Jabar sudah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 403 miliar (per Agustus 2019) yang diberikan kepada 3 juta jiwa masyarakat miskin. Selain itu, ada program untuk memperbaiki rumah tidak layak huni sebesar Rp 16 miliar. Masyarakat miskin pun diupayakan bisa berusaha dengan kemudahan permodalan, di mana Pemprov sudah menganggarkan dana sekitar Rp 50 miliar.
"Walau kemiskinan menurun signifikan, ini masih perlu penguatan sinergi semua kepentingan," kata Daud.