REPUBLIKA.CO.ID, Alquran kerap menggandengkan ritual shalat dengan sikap sabar. Salah satunya dalam QS al-Baqarah [2] ayat 155, Hai orang-orang yang beriman jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Mengapa sabar dan shalat?
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) dapat diartikan dengan “menahan” (al-habs). Dari sini sabar dimaknai sebagai upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah. Difirmankan, “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabb-nya.” (QS ar-Ra'd [13]:22).
Sabar termasuk kata yang banyak disebutkan Alquran. Jumlahnya lebih dari seratus kali. Tidak mengherankan, karena sabar adalah poros sekaligus asas segala macam kemuliaan akhlak.
Muhammad al-Khudhairi mengungkapkan bahwa saat kita menelusuri kebaikan serta keutamaan, maka kita akan menemukan bahwa sabar selalu menjadi asas dan landasannya. 'Iffah [menjaga kesucian diri] misalnya, adalah bentuk kesabaran dalam menahan diri dari memperturutkan syahwat.
Syukur adalah bentuk kesabaran untuk tidak mengingkari nikmat yang telah Allah karuniakan. Qana'ah [merasa cukup dengan apa yang ada] adalah sabar dengan menahan diri dari angan-angan dan keserakahan. Hilm [lemah-lembut] adalah kesabaran dalam menahan dan mengendalikan amarah.
Pemaaf adalah sabar untuk tidak membalas dendam. Demikian pula akhlak-akhlak mulia lainnya. Semuanya saling berkaitan. Faktor-faktor pengukuh agama semuanya bersumbu pada kesabaran, hanya nama dan jenisnya saja yang berbeda.
Cakupan sabar ternyata sangat luas. Tak heran jika sabar bernilai setengah keimanan. Sabar ini terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan, seperti musibah, bencana atau kesusahan. Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat. Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.
Secara psikologis kita bisa memaknai sabar sebagai sebuah kemampuan untuk menerima, mengolah, dan menyikapi kenyataan. Dengan kata lain, sabar adalah upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridha Allah. Difirmankan, “Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabb-nya.” (QS Ar Ra'd [13]: 22).
Dalam shalat dan sabar terintegrasi proses latihan yang meletakkan kendali diri secara proporsional, mulai dari gerakan (kecerdasan motorik), inderawi (kecerdasan sensibilitas), aql, dan pengelolaan nafs menjadi motivasi yang bersifat muthma'innah.
Jiwa muthma'innah atau jiwa yang tenang inilah yang akan memiliki karakteristik malakut untuk mengekspresikan nilai-nilai kebenaran absolut. “Hai jiwa yang tenang (nafs yang muthmainah). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang bening dalam ridha-Nya.”(QS al-Fajr [89]: 27-28).
Orang-orang yang memiliki jiwa muthma'innah akan mampu mengaplikasikan nilai-nilai shalat dalam kesehariannya. Sebuah nilai yang didominasi kesabaran paripurna. Praktiknya tercermin dari sikap penuh syukur, pemaaf, lemah lembut, penyayang, tawakal, merasa cukup dengan yang ada, pandai menjaga kesucian diri, serta konsisten.
Shalat sunnah (ilustrasi)
Tak heran bila Rasulullah SAW dan para sahabat menjadikan shalat sebagai istirahat, sebagai sarana pembelajaran, pembangkit energi, sumber kekuatan, dan pemandu meraih kemenangan. Ketika mendapat rezeki berlimpah, shalatlah ungkapan kesyukurannya. Ketika beban hidup semakin berat, shalatlah yang meringankannya. Ketika rasa cemas membelenggu, shalatlah pelepasannya. Khubaib bin Adi dapat kita jadikan teladan.
Saat menghadapi dieksekusi mati di tiang gantungan, Abu Sufyan memberinya kesempatan untuk mengatakan keinginan terakhirnya. Apa yang ia minta? Khubaib minta shalat. Permintaan itu dikabulkan. Dengan khusyuk ia shalat dua rakaat. “Andai saja aku tidak ingin dianggap takut dan mengulur-ulur waktu, niscaya akan kuperpanjang lagi shalatku ini!” ungkap Khubaib saat itu.
Ya, shalat yang baik akan menghasilkan kemampuan bersabar. Sebaliknya kesabaran yang baik akan menghasilkan shalat yang berkualitas. Ciri shalat berkualitas adalah terjadinya dialog dengan Allah sehingga melahirkan ketenangan dan kedamaian di hati.
Komunikasi dengan Allah tidak didasari “titipan” kepentingan. Dengan terbebas dari gangguan “kepentingan” tersebut, insya Allah shalat kita akan mencapai derajat komunikasi tertinggi. Siapa pun yang mampu merasakan nikmatnya berdialog dengan Allah SWT, hingga berbuah pengalaman spiritual yang dalam, niscaya ia tidak akan sekali melalaikan shalat. Ia rela kehilangan apa pun, asal tidak kehilangan shalat. Jika sudah demikian, pertolongan Allah pasti akan datang.