Sabtu 02 Nov 2019 16:00 WIB

Era Baru Lebanon dan Keseimbangan Suni, Syiah, Maronit

Presiden Lebanon Michel Aoun ingin mengubah Lebanon yang sektarian jadi modern

Para pendukung Hizbullah berlari usai polisi menembakkan gas air mata di dekat kantor pemerintahan di Beirut, Lebanon, Selasa (29/10).
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Para pendukung Hizbullah berlari usai polisi menembakkan gas air mata di dekat kantor pemerintahan di Beirut, Lebanon, Selasa (29/10).

REPUBLIKA.CO.ID

Oleh Lintar Satria

Presiden Lebanon Michel Aoun mengatakan, ingin mengubah sistem pemerintahan konvensional yang memecah kekuasaan dalam kelompok sektarian dengan sistem modern. Hal ini ia ungkapkan setelah Perdana Menteri Saad Hariri mengundurkan diri pada Selasa (29/10) di tengah unjuk rasa besar-besaran yang melanda Lebanon.

Dalam pidatonya yang disiarkan televisi, Auon mengatakan, ia akan melakukan yang terbaik untuk mengubah Lebanon dari negara yang berorientasi sektarian. Ia ingin mengubahnya menjadi negara sipil modern dengan membentuk pemerintahan baru yang berisi teknokrat.

"Kementerian harus dipilih berdasarkan kemampuan dan kepakarannya, bukan loyalitas partai, Lebanon sedang dalam titik kritis, terutama ekonominya," kata Aoun, seperti dilansir dari Aljazirah, Jumat (1/11).

Komentar Aoun ini mengindikasi pemerintah bersedia berkompromi dengan pengunjuk rasa. Yakni, membentuk pemerintahan baru yang dinilai sangat penting untuk melakukan reformasi demi mengeluarkan Lebanon dari krisis ekonomi.

Sistem politik Lebanon yang sektarian ditetapkan berdasarkan Perjanjian Taif yang disusun usai perang saudara 1975-1990. Berdasarkan kesepakatan tersebut, jabatan perdana menteri diserahkan kepada Muslim Sunni, presiden kepada Kristen Maronit dan ketua parlemen kepada Muslim Syiah.

Unjuk rasa di Lebanon meletus sejak dua pekan yang lalu. Pengunjuk rasa menyerukan pemerintahan teknokratik. Pengunjuk rasa yakin teknokrat dapat memimpin negara mereka yang diterpa krisis ekonomi dan mampu meningkatkan pelayanan publik.

Pejabat yang dekat dengan Hariri mengatakan, mantan perdana menteri itu siap untuk kembali bekerja dalam pemerintahan yang baru. Hariri ingin kembali menjabat sebagai perdana menteri dalam pemerintahan yang berisi teknokrat dan yang dapat segera menjalankan langkah untuk mengatasi krisis ekonomi.

Hizbullah, partai Syiah yang sangat berpengaruh di Lebanon, menentang perubahan sistem tersebut. Menurut Hizbullah, mundurnya Hariri akan menghabiskan waktu yang dibutuhkan untuk mendorong reformasi.

Langkah-langkah reformasi yang akan dilakukan, antara lain, melakukan penghematan keuangan dan mendorong bantuan negara-negara Barat. Menurut ketua Hizbullah, Hassan Nasrallah, hal itu akan membawa Lebanon dalam kekacauan.

"Kami tidak menerima turunnya jabatan presiden kami juga menolak mundurnya pemerintahan dan kami tidak menerima, dalam kondisi sekarang ini, pemilihan parlemen," kata Nasrallah.

Nasrallah meminta pendukungnya untuk berkumpul di ruang yang terbuka tapi tetap menjauh dari pengunjuk rasa. Nasrallah berpendapat, akhir-akhir ini tuntutan pengunjuk rasa telah ditunggangi.

"Berdasarkan data dan informasi yang kami peroleh telah mengonfirmasi Lebanon memasuki tahapan sasaran politik regional dan bukan lagi gerakan rakyat," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement