Sabtu 02 Nov 2019 17:46 WIB

Pemerintah Disarankan Tinjau Kembali Frekuensi Penawaran SBN

Terjadi perebutan dana masyarakat dari pemerintah dan perbankan via SBN dan kredit.

Rep: M Nursyamsi/ Red: Friska Yolanda
Nasabah tengah melakukan pemesanan ST005 melalui Mandiri Syariah Internet Banking di Jakarta 12/8. Pemerintah kembali menunjuk Mandiri Syariah sebagai mitra distribusi (midis) Sukuk Tabungan Seri ST005 Tahun 2019.  Masa penawaran ST005 tanggal 8 s.d. 21 Agustus 2019 dengan minimum  Rp1 juta/unit.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Nasabah tengah melakukan pemesanan ST005 melalui Mandiri Syariah Internet Banking di Jakarta 12/8. Pemerintah kembali menunjuk Mandiri Syariah sebagai mitra distribusi (midis) Sukuk Tabungan Seri ST005 Tahun 2019. Masa penawaran ST005 tanggal 8 s.d. 21 Agustus 2019 dengan minimum Rp1 juta/unit.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah mengatakan pemerintah perlu mengevaluasi kembali masa waktu penawaran surat berharga negara (SBN), baik obligasi maupun sukuk. Penawaran yang berjarak terlalu singkat membuat penyerapan surat berharga negara tidak maksimal.

Piter memanggil contoh pembelian ORI016 yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober masih di bawah target. Piter pun memandang pesimistis penawaran Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) ritel kepada investor individu secara online (e-SBN) yaitu instrumen Green Sukuk Ritel seri ST006 yang diterbitkan November ini.

"Saya melihatnya pemerintah perlu menjadwalkan kembali, ini hampir setiap bulan pemerintah menerbitkan obligasi," ujar Piter saat dihubungi Republika.co.id di Jakarta, Sabtu (2/11).

Memang, kata Piter, sukuk atau obligasi yang menawarkan pendapatan tetap itu akan selalu menarik, terlebih di tengah penurunan suku bunga. Namun, Piter mengingatkan kapasitas masyarakat juga relatif terbatas, terlebih bila melihat pertumbuhan dana pihak ketiga dan penyaluran kredit yang menunjukan likuiditas masih ketat, kemudian ada perebutan dana dari perbankan dan pemerintah.

"Memang menarik tapi yang ikut nggak sebanyak yang diharapkan, ini hampir tiap bulan, orang kalau ditawarin terus enek juga. Pemerintah harus siap-siap ini akan terulang kembali di bawah target lagi," ucap Piter.

Selain evaluasi mengenai frekuensi penerbitan obligasi dan sukuk, Piter menyarankan pemerintah mempersiapkan pasar agar obligasi dan sukuk yang ditawarkan dapat menarik lebih banyak pembeli. Pemerintah, kata Piter, harus memaksimalkan kelompok masyarakat menengah ke atas yang selama ini belum bergerak.

"Dugaan saya ini dikarenakan persoalan tax amnesty belum selesai. Kita ingat saat tax amnesty digaungkan, ancaman untuk mereka yang tidak ikut, yang ikut tapi tidak buka data sebenarnya itu kan diancam penalti yang cukup berat, itu sampai sekarang kita nggak tahu akhirnya bagaimana," kata Piter.

Akibat belum selesainya persoalan ini, lanjut Piter, membuat banyak masyarakt dari kalangan menengah ke atas belum mau melakukan investasi dan konsumsi secara besar-besaran.

"Ini yang sebabkan konsumsi dan investasi kita rendah, di tengah kondisi seperti ini likuiditas nggak muter. Pemerintah harus selesaikan ini dulu tuntaskan agar masyarakat menengah ke atas itu bebas investasi dan konsumsi, termasuk investasi di pasar keuangan," lanjutnya.

Piter menilai dua hal tersebut menjadi kunci utama dalam memaksimalkan obligasi dan sukuk yang ditawarkan. Mengenai imbal hasil, Piter menilai Kementerian Keuangan telah melakukan perhitungan dengan matang, termasuk memperhitungkan beban pemerintah dalam setiap rencana penerbitan sukuk atau obligasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement