REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak Myanmar memastikan proses repatriasi yang aman bagi para pengungsi Rohingya. Hal itu dia sampaikan di depan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi saat menghadiri KTT ASEAN ke-35 di Bangkok, Thailand, Ahad (3/11).
Guterres mengatakan Myanmar bertanggung jawab untuk memastikan lingkunngan yang kondusif bagi berlangsungnya proses repatriasi yang aman, sukarela, bermartabat, dan berkelanjutan. Dia pun menyerukan Myanmar menjamin para aktor kemanusiaan memperoleh akses penuh dan tak terbatas ke area-area tempat para pengungsi kembali.
"Saya tetap sangat prihatin dengan situasi di Myanmar, termasuk Negara Bagian Rakhine, dan nasib sejumlah besar pengungsi (Rohingya) yang masih hidup dalam kondisi sulit," kata Guterres, dikutip laman ABC News.
Dia menyambut keterlibatan ASEAN yang ingin turut membantu menangani masalah tersebut. Selama Guterres berbicara, Aung San Suu Kyi hanya duduk dengan ekspresi datar.
Pada Oktober lalu Bangladesh telah mengumumkan rencana untuk memindahkan 6.000-7.000 pengungsi Rohingya ke sebuah pulau bernama Bhashan Char. Proses relokasi diperkirakan akan dimulai pada Desember mendatang.
Namun kelompok-kelompok hak asasi manusia telah memperingatkan tentang risiko pemindahan para pengungsi ke Bhashan Char. Mereka menilai pulau itu rentan dan tak mampu menahan terjangan badai.
Masifnya arus pengungsi Rohingya pada Agustus 2017 memang telah memicu krisis di wilayah perbatasan Bangladesh. Terdapat lebih dari 700 ribu Rohingya yang tinggal di kamp-kamp darurat di sana. Mereka bertahan hidup dengan mengandalkan bantuan kemanusiaan dari dunia internasional.
Saat berpidato di sidang Majelis Umum PBB pada September lalu, Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina menyinggung tentang krisis Rohingya. Menurutnya, penyelesaian masalah dan krisis Rohingya memang sangat bergantung pada Myanmar. “Myanmar harus mewujudkan kemauan politik yang jelas untuk kembalinya (pengungsi) Rohingya yang aman, berkelanjutan, dan bermartabat,” ucap Hasina.
Dia mengusulkan empat poin untuk menyelesaikan krisis Rohingya dan mempercepat proses repatriasi. Hal itu termasuk pencabutan Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan Myanmar tahun 1982. UU itu diketahui menyisihkan Rohingya sebagai warga negara sehingga mereka yang kini mengungsi di Bangladesh tak memiliki keyakinan untuk kembali ke kampungnya.
Hasina pun mengusulkan agar otoritas Myanmar mengajak perwakilan pengungsi Rohingya untuk mengunjungi dan berkeliling Rakhine. Hal itu dilakukan dengan pendampingan perwakilan lembaga internasional. Dengan demikian para pengungsi memiliki penilaian sendiri apakah mereka aman untuk kembali atau tidak.
Dia berpendapat hingga saat ini Myanmar masih gagal menciptakan lingkungan yang kondusif di Rakhine. “Sampai sekarang tidak ada satu pun Rohingya yang kembali ke negara asalnya karena kegagalan Myanmar mengembangkan lingkungan yang aman dan sehat di Rakhine,” ujar Hasina. (Kamran Dikarma)