REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Pemerintah Daerah (Pemda) DI Yogyakarta bersama Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) 2020. Penetapannya berdasarkan PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Pengamat Ekonomi dan Perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM), Hempri Suyatna mengatakan, PP tersebut perlu untuk direvisi. Sebab, ada indikator penting dalam penentuan upah salah PP tersebut.
"Pemda (DIY) hanya mengacu pada PP 78. PP itu masih pro kontra. Pertama karena dalam PP itu juga meniadakan perundingan dengan buruh. Kedua, kalau PP itu hanya ada 60 tor untuk menilai kebutuhan layak minimum," ujarnya kepada Republika, Ahad (3/11).
Menurutnya, seharusnya ada 70 indikator yang perlu menjadi pertimbangan dalam menetapkan UMP maupun UMK. Indikator tersebut beberapa diantaranya dengan mengikutsertakan buruh dalam pembahasan upah yang layak.
"Apalagi Jokowi (Presiden RI) saat kampanye kemarin mengatakan ingin melakukan revisi ini di depan buruh. Ini harus segera direalisasikan, aspek bagaimana buruh itu bisa kemudian terlibat dalam bentuk-bentuk perundingan," katanya.
Selain itu, upah juga harus sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Yang mana, minimal upah di DIY itu sebesar Rp 2,5 juta.
"KHL itu sekitar Rp 2,8 juta. Artinya masih cukup jauh. Menurut hemat saya, minimal Rp 2,5 juta itu bisa sebagai jalan tengah lah, " jelasnya.
Sementara, upah 2020 tidak mencapai angka tersebut. Bahkan, masih jauh untuk dikatakan sebagai upah layak.
Upah, lanjutnya, juga harus memperhatikan aspek dalam mengurangi angka kemiskinan. Termasuk mengurangi angka ketimpangan sosial, di mana DIY menjadi provinsi tertinggi angka di Indonesia.
"Revisi PP 78 itu menjadi hal yang mutlak," tambahnya.