REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 20 guru besar berkumpul di Medan, pekan lalu. Mereka yang tergabung dalam Forum Silaturahmi Guru Besar Sumatra Utara (GBSU) itu berkomitmen memperkuat kedudukan Bahasa Indonesia. Pernyataan ini dikeluarkan oleh Forum Silaturahmi GBSU menyambut hari Sumpah Pemuda terkait dengan adanya upaya pelemahan bahasa Indonesia.
"Berkomitmen memperkuat fungsi bahasa indonesia sebagai basis pengembangan dan pemanfaatan sains dan teknolog7i." Begitu butir kedua kebulatan tekad GBSU yang diserahkan kepada Gubernur Sumatra Utara dan Balai Bahasa Indonesia Sumatra Utara (BBSU) untuk diteruskan kepada Mendikbud.
Dalam keterangannya yang dikirim ke Republika.co.id, Senin (4/11), Kepala BBSU Dr Maryanto, mengakui adanya gerakan di Indonesia untuk membangkitkan Bahasa Melayu sebagai bahasa Internasional. Kebulatan tekad GBSU ini menjadi salah satu pencegah upaya pelemahan Bahasa Indonesia.
Dalam kebulatan tekad GBSU yang mereka buat di pertemuan 1 November 2019, mereka mendukung penuh gagasan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang di antaranya disokong oleh Sanusi Pane di awal kemunculan bahasa Indonesia. Kebulatan tekad ini ditandatangani Prof Amrin Saragih selaku ketua Forum Silaturahmi GBSU bersama 19 guru besar lainnya.
Sanusi Pane adalah sastrawan dari Sumatra Utara. Saat M Tabrani mengusulkan agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan, Sanusi menjadi orang pertama yang mendukung Tabrani. Tabrani mengusulkan hal itu ketika membahas naskah ikrar pemuda yang disusun M Yamin di Kongres Pemuda Indobesia I pada 1926. "Sanusi Pane juga menjadi penggerak kelahiran bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan,'' ujar Maryanto.
Saat berceramah di Taman Siswa akhir Maret 1940, Sanusi Pane mempersoalkan adanya banyak kesalahpahaman mengenai munculnya Bahasa Indonesia. Ia meluruskan bahwa Bahasa Indonesia tidak lahir dari Bahasa Melayu, tidak juga lahir dari Bahasa Melayu Riau.
Kelahiran Bahasa Indonesia menurut Sanusi memang didasari oleh bahasa Melayu pasar. Yaitu bahasa yang dipakai di daerah-daerah dab pers, di dalamnya ada bahasa Belanda, bahada Arab, bahasa Jawa, dan sebagainya sesuai etnis pengguna di masing-masing daerah.
"Kalau kata Tabrani, Melayu gampang," ujar Maryanto.
Kelahiran Bahasa Indonesia dengan demikian tidak memunculkan dominasi satu bahasa daerah atas bahasa daerah lainnya. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia tumbuh kembang dengan dukungan dari bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia dan bahasa-bahada asing.
Oleh karena itu, Maryanto menyatakan agar tak perlu malu menggunakam Bahasa Infonesia di kancah internasional. "Sehingga tak perlu mengganti Bahasa Indonesia dengan Bahasa Melayu seperti yang dikampanyekan oleh Malaysia, karena Bahasa Indonesia bukan Bahasa Melayu," ujar Maryanto.