REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan UU KPK, Presiden Joko Widodo akan memilih langsung Dewan Pengawas (Dewas) KPK tanpa melalui panitia seleksi (pansel). Ketua Komisi III DPR Herman Hery mengatakan, pihaknya tak bisa mengintervensi hal tersebut.
"Presiden memilih,kalau tanya subyektif obyektif tergantung siapa yang menilai kan begitu. Tetapi bunyi UU begitu. Komisi III kami serahkan soal dewan pengawas ke presiden," ujar Herman di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (4/11).
Komisi III juga tak menghiraukan dewas KPK yang berasal dari unsur apapun, termasuk kepolisian atau mantan penyidik KPK. Asalkan anggota Dewas memiliki integritas dan kompetensi dalam mengawasi kerja komisi anti rasuah tersebut.
"Saya sangat yakin presiden bijaksana. Kita tidak usah berandai-andai dengan background tapi UU mengatakan dengan penegak hukum pun boleh asal sudah punya jam terbang 15 tahun," ujar Herman.
Terkait adanya konflik kepentingan dalam dalam pemilihan Dewas KPK, Herman mengatakan bahwa DPR tak mengurus hal tersebut. Sebab, Komisi III hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan UU KPK.
"Terkait conflict of interest atau tidak konflik tergantung siapa yang melihat. Kalau kelompok rakyat, kelompok rakyat yang mana, kan begitu kira-kira," ujar Herman.
Diketahui, Undang-Undang (UU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berlaku sejak 17 Oktober 2019. Salah satu yang disoroti adalah poin soal penyadapan yang harus terlebih dahulu meminta izin kepada dewan pengawas.
Mantan panitia khusus (Pansus) RUU KPK, Arsul Sani menjelaskan KPK masih diperbolehkan menyadap atau operasi tangkap tangan (OTT) sesuai dengan UU sebelumnya. Selama dewas dari presiden belum terbentuk.
"Dalam Pasal 69 D UU perubahan kedua UU KPK, secara tegas telah menyatakan bahwa dalam hal Dewas belum dibentuk, maka pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK yang sudah ada itu dilaksanakan bedasarkan ketentuan yang berlaku sebelum UU (KPK) ini," ujar Arsul.