REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) menilai likuiditas perbankan di dalam negeri masih tergolong layak hingga akhir tahun ini. Hal ini mengingat adanya penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) sebanyak 100 basis poin.
Wakil Ketua Umum Perbanas Farid Rahman mengatakan kebijakan Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan menjadi lima persen sangat diperlukan bagi industri perbankan.
“Saat ini kondisi likuditas perbankan masih eligible,” ujarnya kepada Republika.co.id usai acara konferensi pers Indonesia Banking Expo (IBEX) 2019 di Mandiri Club, Jakarta, Senin (4/11).
Menurutnya likuditas tak hanya bertumpu pada sektor perbankan, melainkan keseluruhan industri jasa keuangan. Diperlukan sinergi kebijakan antara Bank Indonesia, industri atau pelaku jasa keuangan.
“Kalau jalan sendiri keluar bonds baru, ORI baru, tetap harus saling berkomunikasi,” ucapnya.
Farid menyebut kebijakan Bank Indonesia sebagai regulator mengatur makroprudensial sangat diperlukan tetapi harus didukung dari industri tanpa mengurangi atau dampak eksternal. “Kita harus amati secara baik dampak dari eksternal juga,” ucapnya.
Sementara Direktur Keuangan BNI Ario Bimo mengatakan proyeksi penurunan suku bunga Bank Indonesia karena mempertimbangkan kondisi likuiditas perbankan yang cukup ketat. Menurut Bimo turunnya suku bunga acuan, juga akan ditransmisikan oleh bank untuk menyesuaikan suku bunga kredit maupun deposito. Hanya saja, Bimo masih belum menyebutkan rentang angka penurunan tersebut.
“Dengan penurunan suku bunga acuan, akan menurunkan biaya dana atau cost of fund perbankan, suku bunga kredit bank juga akan lebih rendah,” jelasnya.
Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2019, rasio loan to deposit (LDR) perbankan nasional berada pada level 94,04 persen. Pertumbuhan kredit tumbuh 8,59 persen, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tumbuh lebih rendah 7,62 persen.