Selasa 05 Nov 2019 08:38 WIB

AS Mulai Mediasi Mesir untuk Masalah Waduk Sungai Nil

Mesir, Ethiopia, dan Sudan bersengketa masalah pembangunan waduk di Sungai Nil.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Sungai Nil yang membelah kota Kairo, Mesir.
Foto: Republika/Rusdi Nurdiansyah
Sungai Nil yang membelah kota Kairo, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dilaporkan telah berbincang dengan Presiden Mesir Fattah al-Sisi untuk membahas negosiasi antara Mesir, Ethiopia, dan Sudan. Pembahasan terkait dengan pembangunan bendungan hidroelektrik besar Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) di Sungai Nil Biru.

Menteri Luar Negeri Mesir sebelumnya mengatakan, bahwa pemerintahan Trump telah mengundang ketiga negara untuk melakukan pertemuan di Washington pada 6 November guna memecahkan kebuntuan. Serangkaian pembicaraan tripartit antara kedua negara bersama dengan Sudan dimulai pada 2014. 

Baca Juga

Satu tahun kemudian, ketiga negara menandatangani Deklarasi Prinsip, di mana negara-negara hilir (Mesir dan Sudan) harus terhindar dari dampak negatif oleh pembangunan bendungan. Namun, Kairo baru-baru ini menyalahkan Addis Ababa karena menghalangi kesepakatan akhir mengenai masalah teknis.

"Meskipun niat tulus Mesir untuk mencapai kesepakatan tentang aturan pengisian bendungan dan operasinya, upaya ini belum menghasilkan kesepakatan yang diharapkan," ujar Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry dilansir Egypt Today, Selasa (5/11).

Mesir Khawatir bendungan itu dapat membatasi pasokan air yang sudah langka di Sungai Nil. Sementara Ethiopia mengatakan, bendungan tersebut penting untuk pengembangan perekonomiannya. Pembangunan bendungan tersebut telah memakan waktu selama delapan tahun.

Namun Mesir menilai, pemerintah Ethiopia menunjukkan ketidakpedulian yang akan berpotensi menghilangkan 60 miliar meter kubik air di negara berpenduduk terbesar di Arab itu. Penyusutan air tersebut dapat terjadi pada saat sumber daya air per kapita Mesir telah berkurang selama 60 persen sejak lebih dari 50 tahun terkahir.

Fokus pembahasan menonjol saat ini adalah Ethiopia menetapkan waktu mengisi waduk dalam waktu tiga tahun, sedangkan Mesir menetapkan minimal tujuh tahun. Sulit untuk memahami mengapa pemerintah Ethiopia mengadopsi sikap bermusuhan seperti itu.

Pembicaraan Mesir dan Ethiopia gagal selang beberapa pekan setelah Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian. Abiy mengatakan, dapat memobilisasi jutaan orang jika terjadi perang terhadap bendungan tersebut.

"Jika beberapa dapat menembakkan rudal, yang lain bisa menggunakan bom," katanya dikutip laman Gulf News.

Mesir mengeluarkan pernyataan yang menyatakan sangat terkejut dan prihatin atas pernyataan PM Abiy Ahmed. Ketegangan memuncak hingga Presiden Abdel Fattah Al Sisi dan Perdana Menteri Ahmed bertemu di sela-sela Forum Rusia-Afrika di Sochi untuk pembicaraan positif. Laporan yang tidak dikonfirmasikan mengatakan Ahmed meminta maaf atas keributannya yang tidak beralasan.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement