REPUBLIKA.CO.ID, GAZA CITY -- Hamas dan Fatah telah menyepakati perjanjian penyelenggaraan pemilu parlemen dan presiden Palestina. Kesepakatan tercapai pada akhir pekan lalu.
"Kami menerima tanggapan positif dari (Presiden Palestina Mahmoud) Abbas tentang mengadakan pemilu presiden dan parlemen," kata pemimpin Hamas Ismail Haniyeh dalam sebuah konferensi pers di Gaza, dikutip laman Israel National News pada Senin (4/11).
Hal itu disampaikan Haniyeh setelah bertemu Ketua Komisi Pemilihan Umum Palestina Hanna Naser. Dia melakukan perjalanan selama tiga hari ke Gaza pekan lalu. Nasser dan delapan pemimpin faksi di Jalur Gaza telah menandatangani perjanjian penyelenggaraan pemilu parlemen dan presiden di wilayah Palestina.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Saeb Erekat telah menyerukan PBB mendukung upaya Mahmoud Abbas untuk menggelar pemilu nasional, termasuk di Jalur Gaza dan Yerusalem Timur yang diduduki. Hal itu diutarakan Erekat saat melakukan pertemuan dengan Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik Rosemary DiCarlo dan Koordinator Khusus PBB untuk Perdamaian Timur Tengah Nickolay Mladenov di Ramallah pada 7 Oktober lalu.
Dua anggota Komite Eksekutif Fatah, Ahmad Majdalani dan Wasel Abu Youssef, menilai penyelenggaraan pemilu memang satu-satunya cara untuk mengakhiri perpecahan dan friksi di antara faksi-faksi Palestina, terutama Fatah dengan Hamas. Pada awal Oktober lalu, Abbas telah membentuk komite dari Komite Pusat Fatah untuk membahas dan mengkaji proses penyelenggaraan pemilu di wilayah Palestina.
"Kita akan membahas pemilu, persiapan untuk menyelenggarakannya, dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai tujuan ini," ujar Abbas dalam pertemuan internal Fatah kala itu.
Pada Mei lalu Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan bahwa pemerintahannya bersama Fatah siap untuk rekonsiliasi dengan Hamas. Menurut dia, perpecahan antara Fatah dan Hamas merupakan babak kelam dalam sejarah Palestina.
“Jika perspektif kita tentang rekonsiliasi dengan Hamas berbeda, biarkan rakyat yang memutuskan melalui pemilu,” ucapnya. Shtayyeh meyakini bahwa pemilu merupakan satu-satunya cara untuk mengakhiri perpecahan Palestina. “Namun, tantangan utama adalah menggelar pemilu di Yerusalem Timur yang diduduki (Israel),” kata dia.
Fatah dan Hamas telah berselisih sejak 2007. Beberapa upaya rekonsiliasi antara kedua faksi itu sempat dilakukan, tetapi hal selalu berujung kegagalan. Pasalnya, Hamas selalu mengajukan syarat-syarat tertentu kepada Otoritas Palestina bila hendak berdamai.
Pada Oktober 2017, Hamas dan Fatah menandatangani sebuah kesepakatan rekonsiliasi di Kairo, Mesir. Penandatanganan kesepakatan itu menjadi simbol keinginan kedua faksi untuk berdamai setelah 10 tahun berselisih.
Saat itu Hamas akhirnya menyatakan kesiapannya memulihkan hubungan dengan Fatah tanpa prasyarat apa pun. Mereka bahkan membubarkan komite administratif yang sebelumnya bertugas untuk mengelola pemerintahan di Jalur Gaza.
Hal itu dilakukan agar Otoritas Palestina dapat mengambil alih tugas pemerintahan di daerah yang diblokade tersebut. Namun, rekonsiliasi tersebut juga masih mengalami kebuntuan. Hingga saat ini Hamas masih mengontrol Jalur Gaza, sedangkan Fatah menjalankan pemerintahan di Tepi Barat. n kamran dikarma, ed: yeyen rostiyani