Selasa 05 Nov 2019 11:44 WIB

Sanksi AS Target Aset Keuangan Orang Dekat Khamenei

AS kembali menjatuhkan sanksi kepada 9 orang dekat pemimpin tertinggi Iran, Khamenei.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
 Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei
Foto: AP
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) kembali menjatuhkan sanksi terhadap sembilan orang yang memiliki hubungan dekat dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Kahamenei. Sanksi tersebut termasuk untuk kepala stafnya, salah satu putranya, dan kepala peradilan Iran.

Departemen Keuangan AS mengumumkan pada Senin, untuk memberlakukan sanksi kepada sembilan orang termasuk kepada Staf Umum Angkatan Bersenjata Iran. Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dalam sebuah pernyataan mengatakan, pihaknya menargetkan pejabat di sekeliling Khamenei yang kerap menerapkan kebijakan-kebijakan tidak stabil.

Baca Juga

"Orang-orang ini terkait dengan berbagai perilaku memfitnah oleh rezim, termasuk pengeboman Barak Marinir AS di Beirut pada tahun 1983 dan Asosiasi Mutual Israel Argentina pada tahun 1994, serta penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum, dan penindasan warga sipil," ujar Mnuchin seperti dikutip Al Arabiya, Selasa (5/11).

Pejabat senior mengatakan, tindakan AS secara khusus difokuskan menarget aset keuangan pemimpin tertinggi Iran baik dari penasihat militer maupun asing. Mereka yang menjadi sasaran sanksi termasuk kepala staf Khamenei, Mohammad Mohammadi Golpayegani serta Vahid Haghanian, yang menurut departemen telah disebut sebagai tangan kanan Pemimpin Tertinggi Iran.

Salah satu sosok yang ditunjuk Khamenei pada Maret 2019 untuk memimpin pengadilan Iran, Ebrahim Raisi serta putra kedua Khamenei, Mojtaba Khamenei, juga dikenakan sanksi. Sanksi AS itu akan memblokir properti atau kepentingan yang dikendalikan AS yang dimiliki oleh pihak yang ditargetkan. Sanksi juga akan melarang siapa pun atau entitas apa pun di AS untuk berurusan dengan pihak yang terkena sanksi.

Secara terpisah, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan dana hadiah baru hingga 20 juta dolar AS bagi siapapun yang berhasil mendapatkan informasi yang mengarah ke lokasi, pemulihan, dan pengembalian Robert Levinson, mantan agen FBI yang terakhir terlihat di Iran.

"Pemerintahan Trump telah menjelaskan bahwa rezim di Iran harus membebaskan semua orang Amerika yang hilang dan ditahan secara tidak sah, termasuk Robert Levinson, Xiyue Wang, Siamak Namazi, dan lainnya. Kami tidak akan beristirahat sampai mereka dipersatukan kembali dengan keluarga mereka," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo merujuk pada warga Amerika yang telah dipenjara di Iran setelah dituduh melakukan spionase.

Beberapa waktu lalu, Khamenei mengatakan tidak akan mencabut larangan untuk menjalin negosiasi dengan AS. Dia menegaskan tidak akan menyerah pada tekanan Washington.

"Salah satu cara untuk memblokir infiltrasi politik Amerika adalah dengan melarang pembicaraan dengan Amerika. Ini berarti Iran tidak akan menyerah pada tekanan Amerika," ujar Khamenei dalam peringatan 40 tahun penyitaan kedutaan besar AS di Teheran yang terjadi pada masa revolusi Iran 1979, Ahad (3/11).

Sejak Mei 2018 hubungan Iran dan AS kembali memanas. Hal itu terjadi setelah Washington memutuskan keluar dari perjanjian nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Washington kemudian menerapkan sanksi ekonomi berlapis terhadap Teheran. Hal itu pun merupakan taktik AS agar Iran bersedia merundingkan kembali ketentuan dalam JCPOA, termasuk mengatur tentang uji coba rudal balistik.

Namun, Iran menolak tunduk pada tekanan AS. Sebagai langkah balasan, Iran memutuskan menangguhkan satu per satu komitmennya dalam JCPOA, termasuk melakukan pengayaan uranium melampaui ambang batas yang telah ditetapkan.

Iran dan AS kembali terlibat ketegangan setelah adanya penyerangan terhadap sejumlah kapal tanker di Selat Hormuz pada Mei dan Juni lalu. AS menuding Iran sebagai dalang di balik aksi tersebut. Teheran telah dengan tegas membantah tuduhan itu.

Kedua negara kembali bersitegang saat dua fasilitas minyak Saudi Aramco diserang pada 14 September lalu. Serangan itu dilancarkan dengan mengerahkan 18 pesawat nirawak dan tujuh rudal jelajah. Sebanyak lima persen produksi minyak dunia dilaporkan terpangkas akibat peristiwa tersebut. Aramco diketahui merupakan perusahaan minyak terbesar di dunia.

Kelompok milisi Houthi Yaman awalnya mengklaim bertanggung jawab atas serangan itu. Namun klaim mereka diragukan Barat mengingat kecanggihan dan daya jangkau serangan. AS bersama Inggris, Prancis, dan Jerman justru menuding Iran sebagai pihak yang mendalangi serangan ke fasilitas Aramco. Iran kembali membantah dengan tegas dugaan keterlibatannya dalam serangan Aramco. Teheran meminta pihak-pihak yang menuduhnya menyajikan bukti kredibel.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement