REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Producer Call of Duty Mobile Edmundo Swidoyono menampik tudingan esports menjadi biang keladi turunnya prestasi akademik pelajar karena bermain gim. Justru menurutnya, gim dan akademik dapat saling mendukung satu sama lain.
Edmundo yang juga mewakili Garena Indonesia sebagai salah satu publisher gim daring menyatakan, pihaknya pernah membuat skema perlombaan esports dengan nilai akademis sebagai salah satu persyaratan bagi peserta.
"Jadi program kami yang sebelumnya, untuk bisa ikut esports pesertanya harus mencapai nilai akademis di atas batas tertentu," kata Edmundo saat ditemui dalam peluncuran Call of Duty Mobile di Plaza Senayan Jakarta, Senin (4/11).
Menurutnya, langkah yang dilakukan pihaknya justru menjadi bukti prestasi di bidang esports tak merusak bidang akademis seseorang. Ia pun akan mengembangkan skema-skema lain yang mendukung sisi pendidikan untuk pelajar di Indonesia.
Senada dengan itu, Headmaster GGWP.ID, Henov Iqbal Assidiq sebagai pihak yang mewadahi beberapa turnamen esports menyatakan, untuk meyakinkan masyarakat awam terkait dampak positif esports bukan pekerjaan mudah.
"Untuk mengubah stigma itu, pelaku esports, wartawan dan semua pihak pun pasti mempertanyakan. Dari kami, komitmen menyebarkan paham positive gaming," ujarnya.
Ia menjelaskan, positive gaming merupakan suatu pemahaman terkait esports yang mengedepankan banyak aspek, seperti kerja sama tim dan profesionalitas. Ia mengatakan, esports daat mengajarkan kerja sama, pengembangan diri, dan profesionalitas.
Sementara, pelatih tim Esports Endeavour, Yulius "Nextjacks' menilai, pihaknya tak akan sanggup meyakinan beberapa pihak yang hanya berpikir negatif tentang esports. Menurutnya, orangtua menjadi salah satu sektor yang paling strategis untuk mengubah pola pikir tentang olahraga berbasis teknologi itu.
"Kalau saya nggak main esports, mungkin saya bisa masuk gang motor, tawuran, atau narkoba, banyak anak muda yang terjun ke dunia-dunia itu. Masih banyak yang berpikir negatif padahal ada juga sisi positifnya," katanya.
Aspek negatif
Di satu sisi, menurut Ketua Tim Penggerak PKK Jabar, Atalia Praratya, kasus kencanduan gawai pada anak semakin memperihatinkan. Hal itu, terlihat mulai banyak bermunculannya hingga ratusan orang dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
Ini terus setiap bulan ada kasus. Berdasarkan laporan yang kami terima anak yang adiksi game tahun ini ada 81 orang. Ini sangat memprihatinkan," ujar Atalia kepada Republika di acara Seminar Kebahagian Anak di Jabar yang digelar di Universitas Islam Bandung (Unisba), akhir pekan lalu.
Atalia menjelaskan, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jawa Barat, pada bulan Januari siswa yang kecanduan game di Jabar ada 13 orang, pada Februari sebanyak tujuh orang, Maret delapan orang, April sembilan orang, Mei sembilan orang, Juni delapan orang, Juli tujuh orang, Agustus tujuh orang, September sembilan orang, dan Oktober enam orang.
"Ini sangat mengkhawatirkan kasus setiap bulan ada. Bahkan tak hanya kencanduan, yang terjadi anak ada yang menjadi juling sampai kejang. Tahun depan, kami akan membuat program setangkai atau sekolah tanpa gangguan gawai," katanya.
Atalia menjelaskan, setelah aturan tersebut diberlakukan semua siswa di Jabar tak boleh ada yang menggunakan gadget di sekolah. Kecuali, untuk urusan tertentu misalnya ujian menggunakan gawai.
"Jadi, siswa boleh pakai HP hanya pada situasi tertentu saja," kata dia.