REPUBLIKA.CO.ID, BAYONNE – Serangan terhadap Masjid di Bayonne, Prancis barat daya, pada 28 Oktober 2019 lalu menunjukkan adanya gejala tebaru dari Islamofobia di negara tersebut.
Awalnya, pria bersenjata yang berbekal tabung gas dan jerigen penuh bensin itu berniat untuk membakar masjid dan semua yang ada di dalamnya. Namun, aksi fanatik sayap-kanan itu dikejutkan oleh dua pria berusia 70-an tahun.
Pria bersenjata itu lantas menambaki keduanya, di mana tembakan mengenai satu di dada dan satu lagi di leher pada jarak dekat. Dia dilaporkan menuangkan bahan bakar ke salah satu mobil seorang pria, sementara pria itu masih duduk di kursi pengemudi, sebelum ia menyalakannya.
Beruntung, berkat tindakan cepat dari jamaah Muslim lainnya, para korban tersebut dapat segera dilarikan ke rumah sakit dan selamat. Saksi mata mengatakan, mobil yang dirusak menjadi bangkai yang menghitam.
Pelaku adalah Claude Sinke. Pria berusia 84 tahun itu kemudian ditangkap di dekat rumahnya di dekat Bayonne. Ia didakwa dengan dua percobaan pembunuhan, pembakaran, dan kejahatan karena menggunakan senjata api. Atas perbuatannya, ia terancam menghadapi hukuman penjara seumur hidup.
Yang tidak kalah mengejutkan, Sinke ternyata merupakan kandidat dalam pemilihan untuk Front National (sekarang berganti nama menjadi National Rally) pada 2015 lalu.
Partai yang lekat dengan Islamofobia itu gembira karena Sinke mewakili mereka di desa asalnya di Saint-Martin-de-Seignanx, enam mil dari Bayonne. Sinke memenangkan 17,4 persen dari jajak pendapat dewan setempat, sehingga tidak cukup untuk memenangkan kursi.
Dalam artikel di situs berita Independent, esais, Nabila Ramdani menyebut bahwa ada banyak petunjuk radikalisasi secara daring dari Sinke. Ia kerap mengunggah racun tentang Muslim dan kelompok minoritas lainnya. Para politisi lokal dan pegawai negeri sipil menjadikannya sebagai fanatik ekstremis, yang harus didekati dengan hati-hati.
Sinke, yang sebelumnya tidak memiliki catatan kriminal, disebut sebagai tipikal anggota massa yang rentan menempatkan Muslim di pusat semua masalah Prancis.
Sinke dilaporkan mengatakan kepada jaksa penuntut, bahwa ia menyerang masjid Bayonne untuk membalas dendam terhadap umat Islam lantaran diduga memulai tembakan dahsyat di Katedral Notre Dame di Paris pada April lalu.
Teori konspirasi tentang bencana yang oleh penyelidik forensik terbukti berawal secara tidak sengaja, adalah bahan santapan bagi jenis orang yang secara tradisional tertarik kepada sayap-kanan Prancis.
Ilustrasi Serangan Kepada Muslim
Partai ini didirikan dan dipimpin selama beberapa dekade oleh sosok yang rasis, antisemit dan Islamofobis, Jean-Marie Le Pen. Putrinya, Marine Le Pen, adalah kepala saat dari partai keluarga tersebut dan menamainya dengan National Rally.
Sementara itu, Le Pen diduga berupaya menjauhkan diri dari teror Bayonne. Ia bersikeras bahwa apa yang terjadi benar-benar bertentangan dengan nilai-nilai gerakan mereka.
Namun, faktanya, catatan keluarga Le Pen dalam kehidupan publik penuh dengan kekerasan, terutama terhadap Muslim. Para pendiri partai mereka, termasuk Jean-Marie Le Pen, dikalahkan oleh veteran Perang Aljazair, yang membuat Prancis kehilangan permata Afrika Utara dalam Kekaisaran jajahannya pada 1962.
Konflik itu melibatkan kejahatan dan diklaim mencapai satu setengah juta dari kehidupan sipil Aljazair. Selain itu, dalam sejarahnya partai itu, pelaku dari partai tersebut pernah menenggelamkan seorang ayah muda asal Maroko di Senie setelah aksi May Day di Paris pada 1995. Sementara itu, senior Le Pen berada di tengah kampanye presiden.
Menurut sang penulis, kekejaman kekerasan adalah hal biasa bagi parta tersebut. Bahkan, ketika anggota partai menantang untuk jabatan tinggi dan untuk kursi di parlemen.
Pekan lalu, Marine Le Pen mengakui bahwa seorang kandidat dari National Rally yang dipilih untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kota yang akan datang di Strasbourg pernah mendekam di penjara selama 18 bulan lantaran serangan rasis terhadap entis minoritas.
Dalam insiden terpisah, Thibault Gond-Manteaux telah menyerang dua pria asal Afrika Utara dan juga membakar restoran cepat saji Turki sambil membawa senjata dan mengenakan balaclava (aksesoris penutup kepala yang berguna sebagai pelindung hidung dari asap dan gas berbahaya).
Di antara banyak artikel memorabilia Nazi yang ditemukan polisi di rumah Gond-Manteaux adalah salinan Mein Kampf, sebuah swastika, dan sebuah arloji yang diukir dengan lencana SS. Ketika ini diumumkan kepada publik, Gond-Manteaux keluar dari Prancis, tetapi hukumannya hampir tidak tersebar luas
Karena itulah, penulis artikel ini menyebut bahwa jiwa gelap dari partai National Rally mencerminkan sisi jahat Prancis. Hal itu karena Le Pens menjadi pemenang kedua dalam pemilihan presiden pada 2017.
Selain itu, partai ini juga merupakan partai yang menyerukan larangan jilbab dikenakan di sekolah-sekolah Prancis. Tidak sedikit wanita Muslim Prancis yang mengenakan jilbab diganggu
Kebencian populistik menjadi arus utama di negara itu. Sebelumnya, pakar media Eric Zemmour pernah dihukum dua kali lantaran menghasut kebencian agama dan rasial terhadap Muslim.
Kepada saluran TV CNEWS sebelum serangan Masjid Bayonne terjadi, ia memuji Jenderal THomas Buqeaud, yang menurutnya mulai membantai umat Islam dan beberapa orang Yahudi saat ia tiba di Aljazair selama tahun-tahun awal penjajahan Prancis pada 1836. Zemmour secara tegas mengatakan ia berada di pihak sang jenderal.
Pemimpin partai sayap kiri Prancis Insoumise (France Unbowed), Jean-Luc Melenchon, justru meminta para tokoh publik untuk berhenti mendorong kebencian. Ia berkomentar setelah serangan yang melibatkan Sinke terjadi. "Di Bayonne, pelecehan terhadap umat Islam telah berdampak. Cukup sudah," kata Melenchon.